4. Manusia Purba

10.7K 812 28
                                    

[4- Manusia Purba]

"Oh, gitu ya? Oke makasih, Mbak..."

Aku menghela napas, entah sudah kali keberapa aku menelpon, tapi jawabannya selalu sama: Sedang tidak ada di rumah.

Sebenarnya dia tinggal dimana sih? Kenapa selalu nggak ada di rumah?

"Iihh... Kesel deh," omelku sambil melempar ponselku ke atas kasur.

Miris sekali ya... Di jaman yang canggih seperti ini, aku hanya mempunyai nomor rumahnya si gebetanku yang dulu satu sekolah denganku.

Katanya, Samuel Rauvaldy— sang gebetanku yang jadul itu tidak mempunyai line, whatsapp, instagram atau aplikasi-aplikasi sejenis itu. Dia itu sebenarnya hidup di jaman kapan sih? Aku jadi kesal sendiri.

Valdy itu orangnya kalem, nggak banyak tingkah, pengertian, pokoknya segalanya deh! Beda jauh sama si susu cokelat itu... Lho? Kok jadi Milo ya? Kembali ke Valdy, bahkan saking kalemnya, Valdy jadi jadul sekali...

Di jaman maju seperti ini, masa iya masih harus telponan menggunakan telepon rumah? Ih, menyedihkan sekali...

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan suara Charlie Puth memanggilku, eh bukan sih...

Aku melirik caller id dan langsung mengangkatnya.

"LOVA! GIMANA KABAR LO?!"

Aku berjengit sambil menjauhkan ponselku dari telinga.

"Gue baik kok, Pop. Tapi telinga gue nih, nggak baik! Lo jangan teriak-teriak gitu dong, masa lo telepon langsung bikin gue sakit telinga?"

Terdengar suara tawa dari seberang.

Poppy— sahabatku yang satu ini memang hobi sekali berteriak. Mungkin kalau ada lomba teriak, Poppy yang akan menang.

"Gue kangen banget ama lo ih, kampret ya lo, kok ngangenin sih?!"

Aku tertawa geli, "Memang, aura seorang Ghina Andromeda Lovanka itu selalu membuat orang rindu."

"Halah bahasa lo najis banget," Poppy berdecih.

Aku terkikik, "Oh iya, Pop... Gimana kabar Valdy disana?"

"Ih, gue juga nggak tau, Lov. Kayaknya tuh anak lagi semedi dalem gua selama sepuluh tahun deh. Atau nggak mati dimakan raksasa. Semenjak lo pindah, dia gak pernah kelihatan."

"Jangan-jangan dia setan lagi, Pop?" aku menahan tawaku.

"Ih lo mah... Gue lagi sendirian di rumah nih, jangan mulai deh!"

Poppy memang jadi sangat penakut kalau sudah membahas mahluk-mahluk yang seperti itu. Bahkan yang tadinya bicara sambil berteriak bisa jadi berbisik-bisik.

"Hobi sih teriak-teriak, sama setan takut," ledekku.

Aku bahkan pernah berkata kepadanya: Kalo ada setan, teriakin aja setannya sampe dia budeg.

"Lo kayak nggak tau gue aja sih..." kata Poppy sambil tertawa renyah, "OH IYA, LOV!"

Lagi-lagi aku harus menjauhkan telingaku dari speaker. Kini telingaku terasa berdengung karena teriakan maut si Poppy similikiti.

"Apaan sih, Pop?"

"Disana ketemu cogan nggak?"

Aku kembali mengingat teman-teman sekelasku, dan rasanya ingin tertawa kencang mengingat teman-teman baruku yang sifatnya aneh-aneh.

"Cogan nggak ada, Coting banyak."

"Coting apaan?" tanya Poppy, "gue taunya voting dah..." sambungnya.

"Cowo sinting!"

"Hah? Cowok dikelas baru lo stres-stres gitu maksud lo?"

"Ya, absurd gitu. Ada yang godain gue terus, ada yang bilang gue kembarannya anak di kelas itu."

"Kembaran?"

"Iya, jadi ada anak cowok di kelas gue tuh namanya Ghani Antariksa Radmilo."

"GHANI?!"

มล

Aku berjalan ke meja makan sambil menggeret tasku.

"Hello! Itu tas keles, bukan koper," tegur Mama.

"Mager banget nih, Ma..."

Aku meletakkan tasku di kursi dan aku duduk di tempat khusus untukku. Bukan, bukan khusus. Tapi memang hanya kursi itu yang tersisa.

Aku mengambil mangkuk berisi bubur di depanku lalu mulai memakannya.

Aku melirik Mama yang sedang mengelap bibir Papa, persis seperti anak muda yang baru pacaran.

Aku berdeham, "Kalau mau pacaran jangan disini dong! Anak di bawah umur nih!"

Papa tergelak, "Di bawah umur apaan, udah tua kok ngakunya dibawah umur."

Aku mencebikkan bibirku dengan kesal.

"Salah siapa jomblo, week," Mama menjulurkan lidahnya.

Ya Lord! Kok aku berasa di bully ya disini?

"Huaaa! Gue mau pura-pura mati aja sekarang boleh nggak sih?" rengekku.

Mama dan Papa terkekeh geli.

มล

"Lova! Ditanyain abang Milo nih, rumah lo dimana sih?" Indra berseru tepat saat aku baru masuk ke dalam kelas.

"Enggak kok! Bohong. Yang nanya Indra tuh!" protes Milo yang duduk di atas mejanya.

Aku mendengus kesal.

"Kalian mau tau rumah gue? Rumah gue di atas tanah dan di bawah langit!" jawabku ketus sambil meletakkan tasku di atas meja.

Beni yang duduk di sebelah Indra terkekeh puas mendengar jawabanku.

"Oh iya! Milo juga pengen minta id line lo katanya!" celetuk Indra lagi.

"Ndra! Lo tuh kalo mau minta id linenya si Lova ya nggak usah bawa-bawa nama gue dong!" Milo mendorong jidat Indra dengan telunjuknya.

Aku mendekap tasku dan memejamkan mata, kelas masih sepi... Bahkan Marsha pun belum berangkat.

Tiba-tiba aku merasakan getaran-getaran cinta dari saku rokku. Eh, getaran ponsel maksudku.

Mataku melebar saat melihat notifikasi itu.

Samuel Rauvaldy added you as friend.

Sungguh?

Aku mengucek mataku hingga mataku malah terasa pedas.

Apakah aku bermimpi?!

"Omaigottt, akhirnya!"

Eh, apa barusan aku berteriak?

Aku melihat beberapa teman-teman sekelasku menatap ke arahku. Aku segera memasang cengiran khas.

Tanpa menunggu lama, aku langsung mengadd back line milik Valdy.

Jadi setelah semedi selama sepuluh tahun di dalam gua, Valdy mendapat ilmu supaya jadi kekinian?!

Tapi ngomong-ngomong, siapa ya yang membuatkan Valdy akun line? Apa dia membuat sendiri? Sungguh kemajuan pesat!

"Lo kenapa sih, Lov?"

Aku tersentak, Marsha berdiri di samping meja dengan tatapan aneh.

Aku tersenyum lebar kemudian mempersilahkan Marsha duduk, "Nggak apa-apa kok, Sha..."

...

a/n: Jangan lupa vomment yak. Biar yang nulis semangat nih💪.
Btw minta doanya yaa. aku lagi TPUN nihh
Next part? 35 views

14 Maret 2017

MilovaWhere stories live. Discover now