33. Kesadaran

5.8K 437 35
                                    

...

[33- Kesadaran]

Tok ... tok ... tok...

"Masuk aja," jawabku.

Mama membuka pintu kamarku. "Ada calon mantu tuh di depan."

"Calon mantu siapa?" tanyaku dengan kening berkerut.

"Calon mantu Mama, si Milo. Sana temuin."

Ngapain sih Milo datang malam-malam begini?

Aku meringkuk dalam selimutku lalu menggeleng. "Enggak mau ah. Bilang aja Lova udah tidur."

"Loh kok gitu? Kalian lagi berantem ya? Perang dingin? Atau perang panas?"

Aku menggeleng malas. "Lova udah ngantuk, Ma. Mau tidur nih..." jawabku sambil pura-pura menguap.

"Ya udah," Mama keluar lalu menutup pintu kamarku.

Tak lama, mama kembali masuk ke kamar.

"Nih titipannya," Mama menyerahkan kertas yang telah dilipat menjadi kecil kepadaku.

"Apa tuh?"

"Cokelat!"

Aku menatap mama bingung. "Hah?"

"Ya surat lah ... udah tau kertas, masih aja nanya."

Aku mendengus lalu mengambil kertas dari tangan mama.

Setelah mama keluar, aku membuka suratnya.

Maaf ya, bikin lo nangis tadi. Gue sebenernya gak suka lihat lo nangis, tapi tadi gue kesel. Gue kelepasan bentak lo tadi ... maafin gue.

Aku memutar bola mataku. "Kelepasan mulu tapi udah dua kali."

Aku kembali melipat surat itu lalu memasukkannya ke dalam kotak yang berisi surat-surat dari Milo.

Setelah memasukkan surat, aku mengambil ponselku yang berdering.

"Nomor siapa nih?" gumamku.

Aku menekan tombol hijau dan menempelkan ponselku pada telingaku.

"Halo?" sapaku.

"Halo. Katanya udah tidur?"

Aku diam.

"Kebangun, lupa kalau ada PR."

"PR apa?" tanyanya.

Aku mengingat-ingat PR apa yang pernah diberikan oleh guru. "Itu ... matematika!"

"Oh ... bab yang mana ya?"

Aku menepuk dahiku pelan. Aku harus jawab apa?!

Aku segera membuka buku paket yang ada di hadapanku dan membaca judulnya. "Eh ini ... kepadatan penduduk."

Di seberang sana, Milo terkekeh.

"Kenapa?" tanyaku kikuk.

"Gue baru tahu, matematika ternyata ada bab kepadatan penduduk."

Aku memejamkan mataku sambil menggigiti jariku gelisah. Sial!

"Mampus..." gumamku.

"Ya udah lah, gue ngantuk. Udah dulu ya!" Cepat-cepat aku memutuskan sambungannya lalu merutuki jawabanku tadi.

Kenapa bisa aku menjawab kepadatan penduduk sih?!

"Lova!"

Aku menoleh dan...

"Aduh..."

Milo buru-buru menghampiriku. "Lo gak apa-apa?"

Aku meringis. "Sakit tau..."

"Makanya kalo turun tangga tuh hati-hati."

Aku mencibir. "Salah siapa lo panggil-panggil gue pas lagi turun tangga."

"Duduk dulu yuk, gue bantuin."

Milo memapahku menuju bangku yang ada di dekat tangga tempat kakiku terkilir.

Milo berjongkok di depanku dan melepas sepatuku.

"Lo mau ngapain?" tanyaku.

"Mau mandi," jawabnya asal.

Aku memutar bola mataku.

"Lurusin kakinya," tukas Milo.

Aku menurutinya.

"Aduuh! Sakit Milooo!" jeritku saat Milo menarik jariku yang terkilir.

"Sttt ... diem dong. Nanti orang mikir macem-macem."

"Ya ini sakiiitt," pekikku tertahan.

Milo kembali menarik jariku yang terkilir.

"Jangan ditarik-tarik dong, Milo!" protesku.

"Lo mau sembuh nggak?"

Aku mengerucutkan bibirku.

"Coba berdiri."

Aku mengulurkan tanganku sambil memasang muka memelas. "Bantuin!"

Milo menarik tanganku dan membantuku berjalan.

"Masih sakit?"

Aku tersenyum ke arahnya. "Udah lumayan. Kok lo pinter ngurut sih?"

Milo terkekeh. "Karena kamu telah mengurut hatiku."

Aku memukul punggungnya. "Jijik! Alay bang— aduuh!"

Milo kembali membantuku duduk. "Banyak tingkah sih lo. Tunggu sini bentar."

Aku mengangguk.

"Lov."

Aku menoleh. "Ada apa lagi, kak?" tanyaku sambil menatapnya.

"Berapa lama lo pacaran sama Milo?" tanya Natta sambil menatap lurus ke depan.

Aku mengingat-ingat. "Jalan satu bulan. Kenapa?"

"Ternyata bener kata lo, sesuatu yang dipaksakan itu nggak akan sama seperti yang kita mau. Makasih ya, lo udah nyadarin gue."

Aku menatap Natta bingung. "Lo kenapa, kak?"

"Gue sadar, Milo bukan buat gue ... tapi buat lo. Milo itu nggak pernah pacaran lebih dari dua minggu. Lo orang pertama yang pacaran sama dia lebih dari dua minggu,"

"Lo mau maafin gue kan?"

Aku tersenyum tipis. "Lo ngomong apa sih, kak. Gue tuh nggak marah sama lo. Nggak usah minta maaf lah."

Natta ikut tersenyum. "Lo baik banget sama gue. Sekali lagi maaf ya. Makasih juga..." katanya lalu berdiri dan pergi.

Aku terdiam menatap Natta yang semakin menjauh.

"Ngomong apa lagi si Natta?" tanya Milo sambil kembali berjongkok.

Aku menggeleng. "Bukan apa-apa."

"Dia nggak ngancem-ngancem lo kan?" tanya Milo sambil menuangkan minyak ke tangannya lalu kembali mengurut kakiku.

"Enggak kok— Aduuh..."

"Tahan ya, gue pijetnya agak kencengan nih," katanya sambil mengurutku dengan serius.

Aku menggigit bibir bawahku menahan sakit.

...

19 Juni 2017

MilovaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ