11. Puisi

7.9K 643 54
                                    

...

[11- Puisi]

"Gue takut hati ini jatuh ke orang yang salah," gumamku sambil menatap Marsha dalam-dalam dan bersamaan dengan itu, cowok itu masuk ke dalam kelas.

"Maksud lo?" tanya Marsha.

"Gue... Gue suka sama orang yang salah, Sha..." jawabku lirih.

Marsha menatapku penuh tanda tanya, "Siapa?"

"Cowok yang selalu bikin gue kesel, yang selalu bikin gue emosi. Dia orangnya, Sha."

"Siapa sih, Lov? Gue nggak ngerti." Marsha berdecak pelan.

"Orang yang lo larang-larang untuk gue deketin," kataku lagi.

"Maksud lo itu, Milo?" bisik Marsha pelan.

Aku mengangguk ragu sambil melirik Milo sekilas. Cowok itu tampak duduk di kursinya sambil bergurau dengan teman-temannya.

"Lo suka sama Milo, Lov?" tanya Marsha sekali lagi.

"Gue takut hati ini jatuh ke orang yang salah," aku mengulangi kalimatku.

"Percaya sama hati lo, nggak usah pikirin omongan gue. Itu kan menurut sudut pandang gue. Belum tentu Milo cowok nggak bener kok," kata Marsha sambil tersenyum.

"Makasih ya, Sha..."

"Kalo lo suka dia, perjuangin dia!" tukas Marsha sambil menepuk pundakku.

Aku tersenyum dan mengangguk.

มล

Jam terakhir adalah jam pelajaran Bahasa Indonesia. Daritadi Bu Dwi menjelaskan materi tentang puisi. Sudah bisa ku tebak, pasti akhirnya akan disuruh membuat puisi.

Tak lama Bu Dwi duduk di mejanya dan menulis sesuatu.

"Ya, sekarang kalian buat puisi, temanya bebas. Ibu beri waktu lima belas menit," tukas Bu Dwi.

Tuh kan!

Ini jam terakhir, otak sudah buntu, masih juga disuruh membuat puisi. Belum lagi waktunya cuma lima belas menit. Yang benar saja!

Aku menghela napas sambil membuka buku.

Memang sih, sudah biasa membuat cerpen atau cerita. Aku juga lumayan suka menulis. Tapi kalo disuruh membuat puisi seperti ini, aku menyerah!

Berkali-kali aku menulis kata-kata, lalu kembali menghapusnya.

Kulihat Marsha juga berkali-kali menghapus kata yang sudah ditulisnya.

"Temanya apa, Lov?" bisik Marsha.

Aku mengedikkan bahu. Sungguh otakku terasa buntu.

Rasanya hanya ingin pulang sekarang!

"Punya lo?" tanyaku balik.

"Kayaknya tentang sahabat aja deh. Itu yang paling gampang," sahut Marsha.

"Ya udah gue juga. Temanya sama gapapa kan? Asal isinya enggak," kataku.

Marsha mengangguk.

"Kita mikir bareng aja yuk," bisik Marsha.

Aku mengangguk lalu mulai berpikir.

"Ya, sudah selesai waktunya. Ibu panggil secara acak ya," tukas Bu Dwi.

Aku dan Marsha membelalakkan mata kemudian saling berpandangan. Menulis satu kata pun belum, masa waktunya sudah habis?

"Yang pertama... Beni Mario Erivan."

Aku dan Marsha mendesah lega. Tapi kalau setelah ini aku dipanggil bagaimana?!

Semua murid melihat ke meja Beni. Beni dengan songongnya mulai berdiri dan memamerkan puisi buatannya.

Beni berdeham lalu mulai membaca puisinya.

"Aku dan Kamu..." ucap Beni dengan nada puitis.

Banyak anak-anak yang menyoraki.

"Aku cowok, kamu cewek...
Aku laki-laki, kamu perempuan...
Aku pria, kamu wanita..."

"Yaiyalah! Yakali kamunya bencong, Ben!" sorak Indra dengan nyaring.

Bu Dwi memberikan pelototan tajam ke Indra dan seperti sihir, Indra langsung diam seribu bahasa.

"Aku manusia, kamu manusia...
Aku kenal kamu, kamu kenal aku...
Aku tau kamu, kamu juga tau aku..."

Beni ini bikin puisi atau curhat sih?

"Kita memiliki banyak perbedaan, juga persamaan...
Tapi kita selalu bersama...
Bagai ketek dan bulunya,
Walaupun dicabut, tetap tumbuh lagi..."

Tawa murid-murid X-1 pecah seketika. Mana ada cinta disama-samakan dengan ketek! Beni ini ada-ada saja...

"Edaaannn, Beni. Alig, alig*!!" sorak beberapa anak laki-laki.

"Sudah, sudah! Diam semuanya! Selanjutnya... Ghani Antariksa Radmilo."

Anak-anak kembali melihat ke meja Milo. Dengan PDnya dia menyisir rambutnya ke belakang lalu berjalan ke depan.

"Ra—"

"Baju kamu, Milo!" tegur Bu Dwi.

Milo menghela napas lalu memasukkan bajunya secara asal.

"Sudah, Bu."

Bu Dwi mengangguk dan mempersilahkan Milo untuk membaca puisi karangannya.

"Rasa ini..."

Langsung banyak yang bersiul-siul menggoda Milo. Tapi semuanya mendadak diam saat Milo ingin membaca puisinya.

"Di ujung senja,
Telah bersemi rasaku padamu...
Terbayang selalu,
Kemilau matamu yang mewarnai jiwaku..."

"Edan, Milooo!"

"Mantap jiwaahh!"

"Dalam sepinya malam,
Ku tersesat dalam hatimu...
Bahkan bulan dan bintang,
Enggan untuk menampakkan sinarnya..."

"Mantap! Siapa tuh, Mil?!"

Kurasa, Milo menatapku. Atau Marsha ya?

"Hanya perasaan yang mampu mengerti segala keluh kesahku...
Kau tak pernah sadar,
Bahwa aku sangat mencintaimu...
Wahai cintaku..."

Siulan kembali memenuhi seisi kelas.

"Milooo, mantap soul!"

"Kereeen bor!" timpal yang lain.

Milo hanya menanggapinya dengan senyuman. Dia menatapku sekilas lalu melangkah kembali ke tempat duduknya.

"Gue rasa Milo natap lo terus daritadi," bisik Marsha.

Aku tersenyum lebar sambil menatap Marsha.

Tapi, seketika aku teringat Milo dan perempuan tadi.

Jika Milo membuat puisi dengan kata-kata seperti itu, sudah biasa. Itu memang keahliannya.

Dan seketika itu juga senyum di wajahku memudar.

Lagipula belum tentu Milo membuat puisi itu untukku.

...

a/n: *Alig: Gila.

24 April 2017

MilovaWhere stories live. Discover now