BAB 3

1.5K 256 108
                                    

Holland America Lines.

Kapal pesiar ini tengah mengarungi samudera biru yang dalam. Para nahkoda menjalankan kapalnya dengan penuh kehati-hatian. Takut karang tajam menyentuh bagian bawah dasar kapal yang dapat menyebabkan kerobekan pada baja. Seluruh penumpang menikmati keindahan lautan di pagi hari tanpa meninggalkan sedikit apapun dari apa yang dilihatnya.

Cafe, Mall, hotel, dan kolam renang tersedia disini. Mereka yang dianggap kelas atas hingga kelas bawah seluruhnya merupakan orang kaya raya, tak jarang mereka membeli fasilitas VIP yang harganya selangit.

Begitu pula Park Jimin. Dirinya tengah memegang sebuah wine di lantai dasar kapal, matanya menatap bawah laut menampilkan seburat wajah yang tampan. Tangan kirinya mencengkram besi sebagai pembatas. Kacamata hitam bertengger pada daun telinga dan hidung mancungnya. Rambut coklat hitam miliknya berkibas-kibas mengikuti arah angin yang datang.

Sesekali ia meneguk dan menikmati setiap sensasi minuman bercampur alkohol itu masuk ke dalam tenggorokannya. Rasa pahit di lidah berubah menjadi manis ketika ia memejamkan matanya. Sungguh, dia melakukannya bak model yang tengah melakukan syuting iklan sebuah merek minuman ternama.

Tiba-tiba, lengannya disenggol oleh seseorang. Kepalanya langsung menoleh dan kedua matanya menyorot tajam dan dingin seakan menusuk dalam-dalam dari balik kacamata hitamnya. Manusia yang merasa dirinya tak bersalah itu hanya terkekeh geli melihat Jimin menatap seperti marah sekali atas tindakan yang ia lakukan. Tapi Jimin tetap serius dan terlihat raut mukanya tak suka dengan perlakuannya yang semena-mena.

"Santai Jim, aku hanya bercanda."

Jimin mendengus kesal, dia sedang malas berkelahi dengannya. Hanya manusia itu yang berani menganggu ketenangan Jimin selama ini. Ditangannya terdapat botol wine dan gelas yang siap untuk dituangkan, dia mulai menuang setengah lalu meminumnya sekali tenggak sampai tak tersisa. Suara desah dari mulutnya dapat didengar oleh Jimin. Saking malas bertemu dengannya, Jimin kembali memalingkan wajahnya menghadap lautan biru.

Sadar jika Jimin mengalihkan perhatian darinya, lelaki berbaju putih itu ikut berbalik menghadap gelombang air di bawahnya. Suasana menjadi hening, suara desiran ombak dan keramaian oranglah yang terdengar. Kini, yang mendengus kesal adalah lelaki disamping Jimin, dia tidak suka dengan keheningan, ia pun memecahkan suasana dengan cara menjatuhkan gelas dan botolnya ke dalam laut.

Blum

Jimin terfokus pada silauan kaca yang menyembul dari botol dan gelas tadi akibat pancaran sinar matahari. Semakin lama semakin menghilang dan tak terlihat lagi Jimin dengan sifat tenangnya hanya diam tak mengurusi apa yang telah dilakukan temannya itu.

Pandangan mereka teralih pada salah satu anak buahnya yang menghampirinya, sontak mereka menoleh ke belakang menghadap pria berbadan kekar dan besar itu membawa kertas seperti undangan pernikahan.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, manusia tanpa dosa itu bergegas mengambil dan membaca apa yang tertuliskan di kertas itu. Jimin menghembuskan napas panjang dan menaruh gelasnya di atas meja lalu dia mendekati temannya dan bersanding untuk ikut membaca isinya.

Jimin tersenyum remeh kemudian berjalan menuju kursi dan duduk kembali disana sambil meminum wine yang masih tersisa.

"Kau boleh pergi."

Ucapan Jimin membuat anak buahnya berbungkuk sembilan puluh derajat lalu meninggalkan mereka berdua. Jungkook yang masih kesal, menghempaskan badannya ke samping Jimin.

"Jinjja?! Jadi kita akan pergi ke Korea lagi? Aish, sudah kutebak kita pergi kesana." Ujar Jungkook tak suka. Jimin meneguk minumannya sampai habis. Lalu menatapnya dingin.

"Jadi? Kalau kau tau, aku akan apa? Aku akan memberimu hadiah, begitu?" Kata Jimin dengan suara tinggi. Lelaki di depannya malah tertawa terbahak-bahak melihat temannya marah.

"Uangku saja masih cukup untuk membeli barang-barangku, mengapa aku harus memintamu." Balasnya meremehkan harga diri Jimin, lelaki berpipi chubby itu mengeluarkan ponsel di dalam sakunya dan memencet sebuah nomor.

"Oh, jadi kau berani, oke aku akan menelfon ayah untuk memblokir rekeningmu." Jimin menempelkan ponsel itu ke telinganya, Jungkook yang melihat langsung merebut dan mematikan sambungan.

"A-aniyo, aku bercanda. Ayolah Jim, jangan selalu marah, nanti mukamu semakin tua."

Lagi-lagi, Jungkook membuat rekannya yang sangat possesive ini menjadi naik darah, hingga sebuah jitakan keras mendarat di keningnya.

"Aw! Hyung!!! sakit!" Teriak Jungkook sambil mengelus-ngelus keningnya. Jimin tersenyum miring dan mengambil majalah di bawah meja lalu ia lipat membentuk gulungan. Ia memukul-mukulkan majalah tersebut ke telapak tangan kiri sambil menyeringai.

"Mau lagi, huh?!" Tawar Jimin yang sudah siap melayangkan sebuah pukulan ke badan Jungkook dengan majalah tadi.

Jungkook memegang kedua pundak Jimin dan mendudukkannya, "Turunkan majalahnya hyung, tarik napas lalu buang."

"Kau kira aku akan melahirkan hah?!" Bentak Jimin sambil membuang majalahnya dengan sembarang.

"Kenapa kau selalu menyalahkanku hyung!" Jungkook melipatkan kedua tangannya di depan dada.

"Karena kau salah."

Jungkook yang frustasi mengacak rambutnya, "Argh! Polisi itu mati dan gadisnya dibawa oleh seseorang. Sniper yang mereka punya berbeda jauh dengan milik kita. Lalu kita harus bagaimana?" Kata Jungkook membentak Jimin.

Jimin membelalakkan matanya, "A-apa? Kau dapat informasi darimana?"

"Dari anak buahku yang disana, menurut mereka seseorang itu dijaga oleh beberapa orang yang sangat proffesional, bahkan sniper kita tak sanggup untuk menembaknya karena...mati." Jungkook memejamkan matanya.

"Kau sudah melaporkan ke ayah?"

Jungkook menggelengkan kepala, "Belum, aku takut dia menjadi kepikiran dan tidak jadi menikah."

"Hm.. betul juga, kita harus mulai berjaga-jaga saat tiba di Korea nanti. Pasti seseorang telah merencanakan sesuatu." Jimin tampak berpikir dengan menarik-narik dagunya yang putih itu, lalu ia menarik nafas dalam-dalam.

Jungkook mengangguk meng-iyakan, "Aku akan mengirimkannya, lalu apa rencanamu kali ini? Aku bingung sekali."

"Jangan panik, kita tidak mungkin mati konyol. Kita atur strategi, hubungi seluruh pasukan kita dan berkumpul di aula bawah." Tegur Jimin seraya memastikan apakah ucapannya ini dapat terlaksana.

"Sepertinya aula bawah tengah dipakai hyung, tapi tetap aku usahakan untuk mencarikan tempatnya."

Jimin meletakkan tangannya di bahu Jungkook, "Bagus, kau memang adikku yang dapat dipercaya."

__________________________________________________________________________________

Jungkook tuh nakal banget sama Jimin, di IG atau twitter aku sering nemu mereka lagi berantem, eh tapi kok Jimin bilang sama Jungkook kalau dia adiknya? Ah, memang kakak beradik yang aneh wkwkw. Mereka berdua kaya banget sampai minuman wine yang harganya mahal dibuang gitu aja, orang holkay mah bebas yak. Jadi, apa rencana mereka ya? Kok aku deg-degan. Terus komandan sniper? Ah rahasia banget sih! Maka dari itu tetap ikuti ceritaku dan VOMENT masih berlaku kawan.

Killer Job ✘ M.Y.G Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang