Prolog

6.3K 356 229
                                    

“Dia itu bagai magnet yang selalu dan hanya menarikku. Mungkin memang harus seperti itu dan terus seperti itu.”

~•~

“Lo tahu, Ca?”

Aku tidak menjawab dan terus berjalan mendahuli Ila kala kakiku telah sampai diujung eskalator. Ila yang berhasil sampai diujung eskalator berlari mengejarku dan menyamakan langkah kami. Masih tidak ada jawaban dari bibirku.

Lalu kami memasuki sebuah Kafe bernuansa klasik dengan lagu sedu. Kami pun duduk dan akhirnya aku menjawab. “Gak.” Entah butuh berapa menit aku harus menjawab pertanyaan Ila dengan jawaban se-simple itu.

“Masak sih lo gak tahu?”
“Emang gak tahu, La. Kan lo belum bilang apa-apa.”

Ila terkekeh sambil menggaruk kepalanya. Benar kan? Bagaimana aku bisa tahu jika ia belum berkata.

“Atta jadian sama Kak Yuli,” kata Ila dengan hebohnya.
“Udah tahu,” ucapku lesu sambil mengangkat tangan pada salah satu pelayan Kafe.
“Cemburu nih,” kata Ila dengan nada mengejek.
“Enggak! Ngapain gue cemburu,” jawabku tegas.
“Kalau cemburu bilang aja cemburu. Dasar cewek,” kata Ila yang langsung membuat kerut di keningku. Bukannya dia juga cewek.

“Pada ngomongin apa nih? Kayaknya seru banget,” kata seorang pelayan yang tadi aku suruh kemari.

Namanya Leo. Ananda Leo. Cowok tinggi dengan wajah yang berhasil membuat Ila tak berkedip. Dia anak yang baik dan juga mandiri. Di usianya yang masih sekolah, dirinya bekerja paruh waktu untuk biaya kuliahnya nanti. Sungguh anak yang pintar. Laki-laki idaman deh.

“Ini sih Caca, bilang gak cemburu padahal cemburu. Cewek emang gitu yah,” kata Ila yang selalu dan selalu tidak bisa menjaga mulutnya. Leo tersenyum dan diam beberapa detik. Mungkin cowok itu membatin seperti ini: emang dia gak cewek? Dasar cewek.

“Cemburu sama siapa?”
“Atta.”

Aku hampir saja mengumpat mendengar Ila berbicara jujur. Jika saja tidak ada Leo mungkin diriku sudah mengatakan kata kotor kepada Ila. “Sorry, Kak. Ila masih ngantuk jadi salah ngomong,” selaku yang berhasil membuat wajah Ila bertanya.

“Kan emang..” Ila tak melanjutkan kalimatnya kala melihat aku melototkan mata padanya.

“Iya nih, gue kurang tidur kayaknya. Hmm...gimana kalau gue pesen coklat hangat, mungkin bisa buat otak gue sedikit tenang.”

“Nah, gue pesen Cappucino hangat juga deh,” celetukku.
“Ada lagi?”
“Sekalian roti bakar rasa...”
Green Tea.”

Aku mengangguk. Tak heran jika Leo pasti sangat hapal betul akan pesananku yang tidak pernah berubah sejak pertama kali datang ke Kafe ini.

~•~

1 tahun 4 bulan 19 hari
Dan aku masih setia
Setia mencintainya
Hanya satu yang aku inginkan
Berbicara dengannya walau hanya 1 kata

Januari 2015 15:23

“Caca, ada teman kamu di luar.”

Kututup buku itu. Dengan langkah lesu aku membuka pintu, bertanya pada Mama, siapakah tamu itu. Tapi Mama mengangkat pundak. Sejauh ini, hanya Ila yang pernah main ke rumah. Mungkinkah? Leo? Tapi untuk apa? Kami baru saja bertemu tadi siang dan mungkin sekarang Leo masih bekerja. Aku juga tidak ada janji dengan siapa pun.

Aku rasa bumi telah berhenti berputar. Ini sungguh kejaiban. Atta datang kerumahku adalah sebuah keajaiban. Aku sudah meyakinkan diri jika kali ini tidak sedang bermimpi. Sudah kucubit tangan berkali-kali, memastikan jika ini benar-benar nyata.

“Maaf siapa, yah?”
“Lo gak kenal gue?” tanya Atta dan aku menggeleng penuh kebohongan. “Gue kira gue famous. Atta. Anak kelas 9D.”

Dengan ragu, aku menjabat tangan itu. Sangat halus. Mungkin, untuk 1 minggu ke depan tangan ini tidak akan terkena air. “Lo kenal gue?”

“Tentu. Siapa yang gak kenal lo. Seluruh sekolah tahu lo. Caca, murid teladan yang selalu menduduki peringkat pertama,” jawab Atta membuat diriku malu.

Se-famous itukah diriku?

“Silahkan duduk.”

Kami pun duduk bersampingan di kursi tamu yang berada di teras rumah. Melihat Atta dengan jarak 1 meter membuat diriku tidak bisa berkata, tidak bisa bergerak hingga sulit untuk bernapas. Kenapa seperti ini rasanya?

“Hmmm...lo ada apa yah kerumah gue?”
Something.”
“Lo tahu rumah gue dari mana?”
“Kepo banget yah lo. Gue kesini cuma mau minta tolong.”
“Minta tolong? Lo minta tolong gue? Gak salah?”
“Pilihan gue selalu tepat.”

Aku hanya mengangguk walau masih tidak tahu kenapa Atta tiba-tiba meminta tolong padaku. Sungguh aneh. Seperti ada sesuatu alasan yang cowok itu sembunyikan.

“Minta tolong apa?”
“Lo mau gak jadi teman belajar gue? Kedengarannya pasti aneh karena tiba-tiba ada cowok ganteng minta jadi teman belajar.”

Aku tertawa dalam hati mendengar ucapan Atta yang memuji diri sendiri. “Maksudnya teman belajar apa nih?”

“Gini. Gue sadar kalau gue emang bodoh dan orang bodoh ini minta tolong sama lo buat bantu gue setidaknya gak bodoh-bodoh banget.”
“Jangan pakai kata bodoh deh. Gue juga masih belajar kali.”

Atta tertawa membuatku ikut tertawa. Melihatnya tertawa membuatku senang. Entah sudah berapa kali aku melihat Atta tertawa, tapi rasanya ini lebih spesial. Mungkin karena Atta yang tertawa bersamaku.

“Jadi maksud lo, semacam gue jadi guru lo.”
“Yaps. Gue jadi murid. Mau kan?”
“Dengan senang hati. Asal murid gue gak bandel.”
“Janji,” ucap Atta dengan mengangkat jari kelingkingnya. “Kalau gitu gue pamit, nanti gue,” ucap Atta dengan tangan menunjukkan jika ia akan menelponku. Entah itu akan benar terjadi atau tidak.

Aku berdiri. Bersandar pada pilar rumah. Melihat Atta keluar dengan motor Vespa hitam yang sering aku lihat. Tiba-tiba saja aku berharap agar bisa naik motor itu bersama Atta. Duh, ngelantur lagi gue. Jadi guru dia aja lo harus bersyukur, Ca.

Assalamualaikum,” ucap Atta yang lalu tak terlihat lagi oleh penglihatanku.
Waalaikumsalam.”

Kenapa terkabulnya secepat ini? Terima kasih, Tuhan. Skenario-Mu memang akan selalu mengejutkan.

~•~

KauWhere stories live. Discover now