BAB 20

858 49 11
                                    

"Menurut kamu, bagus yang mana?" tanya Emi menunjukkan dua  gaun pengantin. Yang satu berwarna putih dan satunya berwarna emas. Atta melirik sebentar untuk merespon pertanyaan Emi.

"Bagus semua." jawab Atta malas, lalu kembali menatap layar handphonenya.

"Ih, Ari, pilih satu buat kita nikah nanti." kata Emi sedikit sebal dengan tingkah Atta.

Atta menghela nafas, kalau bukan permintaan sang Mama, maka ia tidak akan mau datang ke butik untuk memilih pakaian yang akan dikenakan oleh Emi nanti saat mereka menikah. Cowok itu terlalu yakin, jika pernikahan itu tidak akan terjadi. "Em, lo sama gue itu masih kelas 3 SMA, pernikahan itu juga dilaksanakannya masih lama. Nunggu lo umur 20 tahun dan menurut gue lo gak perlu deh bingung soal pernikahan kita, soalnya gue yakin kalau itu gak bakalan terjadi."

Emi merasa kesal mendengar perkataan Atta. Gadis itu merasa bahwa dirinya memang tidak pernah ada dihati Atta. Difikiran Atta pun aja tidak mungkin, apalagi dihati. Mendengar perkataan Atta itu, ia jadi ingat saat Atta memaksanya untuk membatalkan perjodohan. Emi bisa menyimpulkan bahwa Atta memang tidak ingin perjodohan itu terlaksanakan.

Dengan tidak merasa bersalah, Atta pergi begitu saja meninggalkan Emi tanpa berpamitan. Cowok itu berjalan dengan langkah cepat meninggalkan butik. Sementara Emi hanya bisa terduduk disofa, satu tetes air berhasil lolos dari matanya. Gadis itu mendekap gaun putih yang awalnya ia kira Atta akan memilih gaun itu. Air mata terus mengalir membasahi pipi Emi, serasa tidak akan berhenti. Lalu sebuah tangan dengan senang hatinya menghapus kedua aliran air mata itu. Dia adalah Kiki, cowok yang tidak suka jika melihat Emi menangis.

"Em, lo kok nangis sih?" kata Kiki lalu duduk di sebelah Emi, "jangan nangis, gue gak suka lihat lo nangis."

Kata-kata Kiki itu seolah hanya seperti nyanyian ditelinga Emi. Gadis itu sudah merasakan kesedihan yang terlalu dalam. Walau jujur, sapuan tangan Kiki dipipinya, membuat sebuah aliran listrik menyengatnya. "Miela, lo kenapa nangis?"

Entah kenapa Emi refleks memeluk Kiki, membuat tubuh cowok itu menegang. Pelukan Emi benar-benar membuat Kiki jantungan. Secara tidak sadar, Kiki membalas pelukan Emi. Sesekali dirinya mengelus rambut hitam kecoklatan itu.

"Ki, ajak gue pergi, terserah kemana, asal bisa buat gue lepas dari kesedihan." kata Emi pelan sambil sesenggukan.

Kiki melonggarkan pelukannya, cowok itu menghapus aliran air dipipi Emi. "Gue gak mau lihat lo sedih, buang air mata lo cuma buat hal yang gak seharusnya lo tangisi, gue bakal buat lo lepas dari kesedihan lo."

~·~

Caca masih menimbang-nimbang, kedua novel dihadapannya membuatnya bingung harus memilih yang mana. Novel pilihan pertamanya berisi tentang seorang perempuan yang tidak pernah merasakan bagaimana jatuh cinta kepada seorang cowok. Novel pilihan kedua bercerita tentang seorang perempuan juga, tapi dicerita ini hampir sama dengan kisah hidupnya. Ditinggalkan oleh seorang cowok yang pernah mengisi tempat kosong dihatinya.

"Emang novel yang gue kasih ke lo, udah selesai dibaca?"

Pertanyaan suara berat itu mengagetkan Caca, membuat gadis itu harus menoleh untuk mengetahui siapakah suara berat itu.

"Yaampun Ca, muka kaget lo lucu banget sih." kata Atta lalu mencubit hidung pas-pasan milik Caca.

"At, lo gak bisa apa salam dulu?"
"Assalamu'alaikum cantik."
"Wa'alaikumsalam."

"Kok gak pakai ganteng dibelakang?" tanya Atta sedikit mencoba untuk menggoda Caca.

"Karena lo gak ganteng. Udah ah, tadi lo tanya apa?"

KauWhere stories live. Discover now