• Sheiland #17 •

335K 31.9K 3.3K
                                    

Tubuh Sheila panas, Aland dapat merasakannya ketika menyentuhkan punggung tangan di dahi cewek itu. Sepanjang perjalanan Aland jadi tidak berkonsentrasi, sebentar-sebentar ia melirik Sheila yang bersandar sembari memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut.

"Shei, tahan dulu ya, kita pulang kok," ucap Aland dengan nada yang dibuat menenangkan, meskipun sebenarnya terdengar panik dan tidak membantu.

Sheila tidak menyahut, hanya menatap lurus ke depan. Mati-matian menahan rasa mual yang tiba-tiba menjalar. Jus jeruk yang tadi ia minum walaupun sedikit rasanya jadi aneh dan hambar, membuat kepalanya pusing tiba-tiba.

Sheila mendesah, mungkin maag-nya kambuh.

Aland memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata, tetapi beberapa kali mengerem secara mendadak gara-gara mobil di depannya berhenti dan parkir di pinggir jalan sesuka hati, atau pejalan kaki yang sembarangan menyeberang padahal di sana sudah banyak zebra cross ataupun jembatan penyeberangan.

"Shei? Kamu masih kuat kan? Masih tahan sampe rumah kan?"

"Aland, aku itu cuma pusing. Bukan mau brojol alias lahiran," balas Sheila dengan jari yang tetap tak berhenti memijit pelipis.

"Ya siapa tau kamu udah nggak kuat. Sabar ya, Shei."

Aland segera melajukan mobilnya lagi setelah menghadapi lampu merah selama beberapa saat.

"Kamu nggak perlu ke rumah sakit kan?"

Sheila mendelik. "Aland, palingan cuma maag-ku yang kambuh. Jangan bertindak kayak ketuban aku udah pecah."

Aland menggigit bibir bawah gugup. "I-iya iya, soalnya aku nggak tau ngehadepin orang yang lagi sakit."

Aland mengembuskan napas lega ketika mobilnya sudah sampai di halaman rumah Sheila setelah beberapa lamanya larut dalam kebingungan dan rasa khawatir. Cowok itu segera turun, lalu memutari mobil dan membukakan pintu untuk Sheila.

"Kamu aku gendong ya?"

Sheila mengangguk.

Aland pun menggendong pacarnya itu masuk ke dalam rumah yang untungnya pintu sedang dalam keadaan terbuka, pipi Sheila yang menempel di punggung lehernya terasa panas.

Ibu Sheila yang sedang mengusap air mata sebab sedang mengupas bawang menoleh dengan bingung ketika Aland masuk dan menggendong Sheila.

"Loh? Sheila kenapa?"

"Sheila sakit, Tante. Saya bawa dia ke kamarnya ya?"

Vira mengangguk. "Iya-iya, sebentar Tante mau cuci tangan dulu dan simpen ini ke dapur."

Aland terengah-engah ketika menaiki tangga, bukan karena merasa berat menggendong Sheila, melainkan perasaan khawatir yang terlalu membludak membuat kepalanya terasa kosong dan pasokan oksigen terasa tak cukup. Darahnya juga berdesir lebih cepat.

Aland segera menyelimuti Sheila hingga ke batas dada, menarik kursi ke samping tempat tidur dan mengembuskan napas pelan. Ia menoleh ketika Vira masuk dengan segelas air putih, sendok plastik serta botol obat.

"Sheila itu punya maag," ungkap Vira. Wanita itu duduk, menuangkan cairan putih kental ke sendok plastik, lalu meminta Sheila membuka mulut.

"Shei, buka mulutnya."

Sheila menurut, meminum obat itu baru kemudian meneguk air putih.

"Setengah jam lagi kamu makan. Aland, saya titip Sheila sebentar ya."

"Siap, Tante."

Setelah Vira keluar, Aland mendesah pelan. Digenggamnya tangan Sheila dan ia tempelkan ke pipi, merasakan panas yang seakan berpindah.

Sheiland (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang