• Sheiland #47 •

250K 27.9K 4.5K
                                    

Kisahku dan kisahmu tidak mungkin bersatu, sebab ada kisah lama yang masih mengganggu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kisahku dan kisahmu tidak mungkin bersatu, sebab ada kisah lama yang masih mengganggu.

Aland Alano Navvare

***

Setelah melihat Sheila dan laki-laki yang jelas lebih tua darinya itu, Aland kehilangan keinginan menenangkan diri di sini yang memang sangat minim itu. Hilang sudah, benar-benar tak berbekas.

Malas melihat bagaimana tangan itu saling menggenggam begitu erat, juga malas melihat bagaimana senyum itu mengembang namun bukan karena dirinya, Aland berbalik dan melangkah menjauh.

Wajahnya mungkin tidak menunjukkan ekspresi apapun, hanya saja itu jauh dengan perasaannya sekarang.

Percayalah, ini salah satu hari terburuknya.

"Aland!"

Jika sebelumnya suara dari seseorang yang memanggilnya kini adalah salah satu melodi terindah yang pernah Aland dengan selain pujian Samudra yang langka, ucapan semangat dari Lalisa hingga tawa Arkan, kini suara itu justru menjadi yang paling Aland tidak ingin dengar.

Kini, harus diakui bahwa Aland benci mendengarnya.

Sebut saja Aland berlebihan, akan tetapi Aland paling benci dengan yang namanya pengkhianatan.

Panggilan itu tidak serta-merta membuat langkahnya berhenti, justru malah mempercepat gerak kakinya. Tanpa harus dipikirkan ulang pun, Aland harus cepat-cepat pergi dari sini.

"Aland!" Suara itu terdengar lagi, tetapi​ Aland tidak peduli.

Meski hati kecilnya berteriak bahwa ia seharusnya berbalik dan tersenyum, meski hati kecilnya berseru meminta Aland untuk berbalik dan memeluk cewek itu erat-erat.

Aland memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket, menyembunyikan fakta bahwa tangannya mengepal kuat-kuat.

Jujur, ia merindukan Sheila. Namun dalam keadaannya sekarang, semuanya terasa serba sulit.

Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya, jelas bukan seseorang yang memanggilnya tadi karena Sheila butuh berjinjit untuk menepuk pundaknya dengan tepat. Aland berbalik malas, lalu balas menatap sorot tajam cowok yang bersama Sheila tadi.

"Sheila manggil lo," ucap cowok itu ketus.

"Gue nggak peduli," balas Aland, ia hendak berbalik lagi dan pergi ketika cowok itu menahan tangannya. "Dia ada perlu ngomong sama lo."

"Gue nggak ada perlu sama dia. Lagian, kenapa sama gue? Bukannya sekarang dia urusan lo?"

Cowok di hadapan Aland mengerutkan kening tidak mengerti. Aland mendengus, merasa semua ini sia-sia saja.

"Aland, kita perlu bicara empat mata. Dua mulut, sih, mata kan bisanya cuma melihat."

Di situasi biasa ucapan Sheila mungkin terdengar lucu, tetapi kini keadaannya berbeda, dan Aland sedang dalam mood untuk tidak bercanda.

"Ngomong aja."

Sheila menggeleng, dia menarik Aland ke penjual minuman, meninggalkan Sandi yang tetap memperhatikan, meski tak dapat mendengar apa yang Aland dan Sheila ucapkan.

"Sebelumnya, aku mau nanya sesuatu." Sheila bersuara usai mengembuskan napas perlahan, berusaha membuat dirinya sendiri tenang.

"Kenapa kamu kayak gini? Apa karena aku dulu ngambek sama kamu?"

Aland diam, matanya saja yang bicara. Ia melirik Sandi, sedang bibirnya menutup seakan terkunci.

"Kok nggak dijawab? Kamu sariawan, ya?"

Aland mendengus keras-keras.

"Cuma itu doang? Gue pulang."

"Aland." Sheila menahan Aland agar tidak pergi. "Kok sekarang jadi pake gue-lo?"

"Lo nggak ngerti?" Rahang Aland mengeras, menahan segala yang berkecamuk di dadanya.

"Sebenernya kamu ini kenapa? Marah? Aku ada salah apa sama kamu?"

Sheila memejam sesaat, mencoba menahan agar air matanya tidak menetes jatuh. "Kalo ada, tolong kasih tau aku, biar aku bisa ngerti sama semua sikap kamu ini."

"Lo harusnya bisa mikir apa salah lo, Sheila Andrina."

Sheila cukup terkejut dengan nada menusuk pada suara Aland. Oke, harus tetap tenang dan tidak boleh terbawa emosi.

"Kamu aneh." Sheila berseru tak percaya. "Bener-bener aneh. Harusnya, aku tanya kenapa kamu begini sama Kak Arkan."

"Nggak usah bawa-bawa Arkan," tukas Aland masam.

"Aland. Kamu ini kenapa, sih?"

Sheila memukul-mukul dadanya yang terasa sakit, seolah ada lubang besar menganga di sana.

"Beberapa hari belakangan, aku ngerasa kita malah bergerak mundur. Kita jadi kayak dua orang yang belum​ pernah ketemu, kayak orang asing."

"Bagus. Mungkin emang lebih baik seharusnya begitu."

Mata Sheila melebar tak percaya. "Ma-maksud kamu?"

"Kita lebih baik jadi orang asing. Kita putus."

Setelah mengatakan itu, Aland benar-benar melangkah pergi meninggalkan taman bermain. Meninggalkan Sheila yang mulai meneteskan air mata, meninggalkan hatinya yang hancur, meninggalkan kerinduan dan harapan semu.

Mungkin, Sheila merasa sakit hati dengan keputusan Aland. Tetapi percayalah, hati Aland juga sama hancurnya.

Sangat hancur.

***

He.

He.

Hehehehehe.

Ada yang senang sama chapter ini?
/Gak.

Seneng deh masih ada yang mau baca dan nagih-nagih update, thank you!
Jangan lupa vote, comment dan masukin cerita ini ke reading list, ya.

Ok, see you:)

Sheiland (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang