26 | kita bakal ke tempat daddy

8.1K 369 4
                                    

⚠|| t y p o
• • • • • • • •

13.45
"Gua lagi sama Leah waktu itu."

"Lo galau gara-gara lo pikir pacar lo selingkuh, di saat lo sendiri lagi bareng sama cewek laen?!" Cukup! Rasanya kepala Leo ingin meledak.

"No! Diam dulu bisa? Cerita gua masih jauh dari selesai dan benar-benar belom lengkap!" Seru Dominic balik. Ia, kemudian melanjutkan ceritanya. Cerita di mana, tanpa ia sadari kalau ia telah menakuti Leah, lebih banyak dari pada intensinya.

Okay, jujur saja, ia memang mau menakuti-mengintimidasi gadis itu supaya ia tidak membahas topik lelaki lain dengan Carol lagi. Namun semua itu malah menjadi berlebihan, dan Leah, bagai sudah siap untuk pingsan kapan saja dengan bibir sepucat itu dan ketakutan yang nampak jelas di matanya. Deep down, Dominic cukup puas dengan itu. Tapi, Carol-nya, ia terlalu berhati lembut.

Lalu Dominic mengatakkan kalau akhirnya ia malah mengantar teman kekasihnya pulang dan membiarkan gadisnya sendirian di kampus. Namun itu semua terjadi karena permintaan Carol. Bagaimana Dominic bisa mengatakan tidak kepada mata bulat dan tatapan penuh mohonnya itu?

Kini Leo jauh lebih tenang dari tadi, "tapi 'kan, kalau diliat-liat lagi, mereka cuma ngerjain tugas mereka. Goals mereka itu nilai, bukan ayo-bikin-pacar-lo-ngambek." Komentar lelaki itu.

"Emang sih. Tetep aja, gua masih gondok rasanya." Karena cewek itu udah melanggar rules yang udah disepakati sama kedua belah pihak, tentunya gua marah.

"Lagian nih, Nick. Kalo seandainya tuh anak sampe ngulang semester ini, bisa-bisa lo diputusin. Belom lagi kalau seandainya dia sampe gak lulus, jangan harap bisa liat muka dia lagi deh." Canda Leo dengan nada geli.

Tiba-tiba amarah mencuat di hatinya, "gak bakal gua biarain dia putusin gua." Ujarnya dengan nada penuh janji. Leo tertegun dengan kata-kata sahabatnya itu.

"Nick, setiap orang punya jalan mereka masing-masing, oke? Dan meskipun dia pacar lo, bukan berarti, lo berhak ngatur-ngatur hidup dia sedetil itu." Jelas Leo dengan nada serius. Ia takut sahabatnya itu bakal melakukan pacaran yang tidak sehat.

"Gua tau itu, gua cuma pengen, dia bergantung sama gua aja. Gua kan pacarnya. Jadi kalau dia perlu sesuatu harusnya lari ke gua aja, jangan ke mana-mana lagi." Ujarnya sambil menunjuk-nujuk ke arah dirinya sendiri.

"Lo mungkin bagian dari hidup dia, dan kata kuncinya adalah bagian. Lo bukan sepenuhnya dunia dia, Nick. Dia masih punya keperluan lain yang sama sekali gak bersangkutan sama lo. Kayak ibunya, mungkin sekarang dia udah besar untuk menentukan pilihan dia sendiri, tapi dia perlu ibunya untuk bertukar cerita, atau rasa hormat dan cinta mereka sebagai anggota keluarga. Dan lo gak bisa bertindak sebagai ibunya, karena peran lo itu cuma pacar, pa-car, Nick."

Oke, mungkin kata-kata Leo itu sungguh telah melukai egonya sebagai seorang pria, tapi kata-kata temannya itu memang benar.

"Tapi gua bisa upgrade level gua jadi tunangannya, kok." Setelah mengatakkan itu, Dominic minggat dari kantin, menuju gedung kampusnya.

15.45
Ah, itu dia gadisnya. Sepertinya ia baru saja keluar kelas. Dominic menghampirinya yang sedang berdiri sembari berbicara dengan...oh, crap. itu Leah! Dia lagi berbicara dengan Leah! Semoga saja mereka tidak membicarakan-

"Oh...yaudah deh, Sabtu gua sih bisa kayaknya. Yaudah-"

"Gak, Carol. Sabtu kamu ada janji sama aku, inget?!" Selak Dominic dari belakang gadis itu. Ah, jelas saja kalau mereka sebenarnya belum merencanakan apa-apa Sabtu nanti, namun ini adalah Dominic, mana mungkin ia bisa mengatakkan tidak?

Tanpa memutar tumitnya, Carol meneguk salivanya gugup, tapi ternyata bukan dia saja yang begitu. Leah malah lebih ketakutan dari pada dirinya sendiri.

"O-oh iya. Yah, Le. Minggu depan aja kali, atau...um...kapan-kapan aja deh, y-ya?" Ujar Carol takut-takut, masih belum berani untuk menoleh ke belakang.

Leah yang nampak lebih ketakutan hanya bisa mengangguk pelan sembari menggumamkan iya super pelan.

"U-uh. G-gua, nanti ada acara k-keluarga. G-gua duluan ya Ker, N-nick." Cicit Leah gugup dan buru-buru sebelum melenggang dari sana. Menyesal benar tadi ia bisa-bisanya eye contact dengan monster yang berstatus sebagai kekasih sahabatnya itu.

Dominic menyeringai melihat Leah yang akhirnya benar-benar menangkap pesannya dari pertemuan beberapa waktu lalu.

"D-daddy." Sapa Carol super pelan, masih menatap lantai kampus dengan gugup.

Dominic menggenggam dagu mungil Carol di antara jempol dan jari telunjuknya, membawa wajah Carol ke atas-menatap dirinya, yang sedang menatap wajah manis di depannya dengan mata tajamnya.

"Kalau lagi ngomong, harus tatap muka!" Perintah lelaki itu dengan nada tenangnya, dan itulah yang membuat Carol semakin ingin bumi untuk menelannya.

Carol menatap lelaki itu dengan mata bulatnya dan mengangguk, "i-iya, Daddy."

Tangan Dominic beralih dari dagu ke telapak tangan gadis itu. Ia menggenggamnya perlahan namun cukup erat agar gadis itu tak melenggang pergi sesukanya.

Pasangan itu berjalan bersama-sama ke parkiran kampus dan langsung saja mereka dapat menemukan mobil Dominic yang lebih menonjol dari mobil-mobil lainnya yang ada di sana. Itu bukan hanya karena warna hitamnya yang lebih elegan atau logo dari mobil-mobil yang hanya bisa dikhayal oleh lebih dari separuh populasi di kampus, namun juga karena plat nomor polisi lelaki itu, dengan akhiran inisial namanya-DOM. Seluruh mobil yang pria itu miliki tentunya harus memiliki nomor plat serupa itu.

16.01
Dominic membukakan pintu Range Rover hitamnya untuk gadis itu sebelum masuk ke sisinya sendiri. Telah menjadi kebiasaan untuk mereka berdua, kalau Dominic lebih suka hal yang-menurutnya-seharusnya terjadi, ia lakukan.

Lagi, Dominic sangat senang untuk mendengar ucapan terima kasih dari Carol, jadi, gadis itu tentunya telah menjadi anak manis dan langsung menggumamkannya perlahan.

"Kamu tahu kita ke mana?" Tanya Dominic datar, masih dengan mata tajamnya di jalanan yang cukup ramai, menjelang jam pulang kantor.

"U-uh...ke, um...ke tempat Daddy?" Jawaban Carol malah terdengar seperti pertanyaan. Dan Dominic sungguh tak senang dengan sesuatu yang seharusnya tidak terjadi, malah terjadi. Seperti apa yang dilakukan Carol tadi.

"Jawab dengan tegas, Carol!" Perintahanya dengan nada rendah.

"Kita bakal ke tempat Daddy." Ujar Carol lagi, setelah berhasil menelan rasa gugup dan takutnya. Tapi tetap saja jari-jarinya gemetar dan tak bisa diam.

Dominic melirik jari-jari gadis itu di atas pangkuannya, namun ia hanya terdiam, merasa kalau tekanan yang ia beri pada gadis itu sudah cukup banyak.

Perjalanan itu terasa seperti neraka bagi gadis itu maupun Dominic. Bukannya Dominic merasa bersalah karena telah membuat gadis itu merasa demikian, namun Dominic tidak tahu kalau gadisnya itu bisa menahan hukuman yang bakal Dominic berikan atau tidak.

🍌🍌🍌

Yuhu, ada yang nunggui chapter selanjutnya?

Don't forget to vote and komen
ya gengs, makasih

Don't forget to vote and komenya gengs, makasih

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Honey MoneyWhere stories live. Discover now