Prolog

10.9K 717 35
                                    


"Mau dibawa semua?"

Kegiatan Dhafin memasukan pakaian ke dalam ranselnya terhenti, dia menoleh ke arah kanan. Melihat Emir, ayahnya sudah berdiri di ambang pintu dengan setelan rapi. Bersiap berangkat ke bandara.

"Iya," jawab Dhafin singkat, melanjutkan kembali pekerjaannya memasukan beberapa pakaian dan barang yang ia pakai selama menginap di apartemen milik ayahnya itu.

"Simpan aja sebagian. Supaya nanti pas kamu nginep di sini gak usah bawa pakaian banyak."

"Ini pakaian kotor," sahut Dhafin.

"Gak apa-apa. Nanti sekalian Ayah kirim ke laundry sama pakaian kotor Ayah."

Dhafin menghentikan gerakan tangannya. "Terus, diambil dari laundry-nya kapan?" tanyanya, "minggu depan?"

Emir tersenyum. "Kamis depan, pas Ayah balik ke Jakarta."

Dhafin mengembuskan napas, mengeluarkan lagi semua isi ranselnya dengan gerakan kasar, terkecuali sepatu basket dan topinya. Dia menangkup semua pakaian yang katanya kotor itu lalu membawanya ke luar. Memasukannya ke dalam wadah, tempat ayahnya biasa menyimpan pakaian yang akan dikirim ke laundry.

"Aku mau langsung ke tempat latihan. Jadi, gak perlu diantar," ucap Dhafin. Dia tidak memedulikan ayahnya yang akan memprotes. Memilih buru-buru mengambil tas ranselnya dan langsung keluar dari kamar.

"Fin."

Langkah Dhafin yang sudah hampir menuju pintu harus terhenti. Dia memutar lagi tubuhnya untuk sekedar memberi tahu kalau dia mendengar panggilan dari ayahnya itu.

"Ayah minta maaf."

"Buat apa?" tanya Dhafin, bingung.

"Ayah gak bisa nepatin janji untuk temanin kamu latihan basket hari ini. Tapi Ayah janji, minggu depan Ayah akan temanin kamu full selama tiga hari."

"Gak usah janji."

"Kenapa?"

"Paling nanti, gak jadi lagi," jawab Dhafin, santai.

"Sekarang Ayah serius. Minggu depan Ayah libur panjang. Jadi, pas hari jum'at, Ayah langsung jemput kamu ke sekolah."

"Jum'at depan, aku mau nemenin ibu ke Sukabumi."

Emir mendengus.

"Kenapa?" tanya Dhafin, saat melihat ekspresi tidak suka dari ayahnya. "Jadi, jatah buat Ayah ketemu sama aku, tetap cuma hari sabtu dan minggu. Tapi khusus untuk minggu depan, aku belum bisa janji. Soalnya ibu gak bilang kalau kami akan langsung pulang di hari yang sama." Dhafin mengedikan bahunya.

"Gak bisa gitu dong," protes Emir tidak terima, "pokoknya Ayah mau ngomong sama ibu kamu supaya langsung balik ke Jakarta. Bila perlu, Ayah mau ngomong sama dia, supaya kamu gak perlu ikut."

Dhafin tersenyum miris. "Terserahlah," jawabnya, lalu melengos ke luar setelah menutup pintu dengan sedikit bantingan. Langkah kakinya dia buat secepat mungkin menuju lift.

Tangan Dhafin mengepal kuat, dengan sedikit emosi dia menekan tombol lift. Dadanya bergerak naik turun dalam tempo agak cepat. Tidak pernah sekalipun, setiap dia bertemu dengan ayahnya berakhir dengan baik, pasti akan selalu berakhir dengan adu mulut dan berakhir dengan pembahasan perihal dia harus menghabiskan waktu dengan siapa.

Terkadang Dhafin merasa jenuh terus-terusan hidup di dalam situasi seperti ini, menjadi bahan gonjang-ganjing antara ayah dan ibunya. Tetapi, jika harus menghabiskan waktu hanya dengan salah satu di antara mereka saja, Dhafin pun tidak mau. Dia tidak akan pernah mau jika harus memilih antara ayah atau ibunya.

Dia sama seperti anak lainnya. Membutuhkan sosok ayah untuk menjadi pelindungnya dan sosok ibu untuk menjadi penyemangatnya. Namun, Dhafin terpaksa harus menerima kenyataan, jika kedua sosok itu tidak bisa hidup bersama-sama mendampinginya. Kehadiran orangtuanya, sama halnya seperti pedal sepeda, tidak bisa sejajar dalam satu waktu. Jika ibunya ada maka ayahnya tidak ada, begitu juga sebaliknya.




17.09.24

Hello Dhafin 😊 liat aja dulu, kali aja suka.

Disela-sela kegalauan memikirkan konflik untuk sequel what's wrong. Yang entah kapan akan di proses 😂.

Someday.Место, где живут истории. Откройте их для себя