Someday. 2

5.5K 547 51
                                    

Tubuh jangkung itu berdiri sejenak di balik pagar besi yang mengelilingi rumah bergaya klasik miliknya. Pupil hitamnya menatap heran pada rumah yang nampak masih gelap. Padahal sekarang sudah hampir magrib dan langit pun sudah mulai berubah warna menjadi gelap. Apa ibunya sedang tidak ada di rumah?

Tangan Dhafin bergerak perlahan membuka engsel pada pintu pagar lalu memastikan pengait itu lepas seutuhnya sebelum dia melangkah masuk ke bagian halaman menuju teras rumah.

"Assalamuallaikum ... Bu."

Dhafin mengetuk pintu setelah sebelumnya dia mendapati pintu terkunci kemudian diam sebentar saat tidak mendengar sahutan dari dalam rumah.

"Bu ...." panggilnya lagi. Mata Dhafin memicing guna mengintip ke dalam rumah dari kaca jendela, tapi hanya gelap yang tertangkap oleh retinanya.

"Bu ...." Dhafin mencoba lagi meski masih tidak mendapat jawaban dari dalam rumah. Sekarang Dhafin mencoba menebak-nebak kemana kiranya ibunya itu akan pergi. Karena biasanya ibunya itu sudah pulang dari jam tiga sore tadi. Ah. Tiba-tiba dia teringat sesuatu akan kebiasaan ibunya. Dengan sedikit kesal Dhafin merogoh saku celana seragamnya, mengambil ponsel miliknya dari dalam sana. Ibu jarinya otomatis mendial nomor satu untuk nomor panggilan darurat.

"Assalamuallaikum, Fin?" Suara sapaan lembut itu terdengar oleh Dhafin begitu panggilan teleponnya tersambung.

"Waalaikum salam. Ibu masih di tempat kerja?"

"Iya," jawab Sarah. "Maaf nya? Ibu lupa gak ngasih tau kamu dulu, soalnya sibuk banget."

Dhafin mendesah, tuh 'kan? Kebiasaan. "Nya teu nanaon, tapi kunci rumah disimpan di mana? Aku mau masuk, pengin ke toilet."

"Oh iya. kunci rumahnya disimpan di bawah pot bunga yang warna ungu di dekat pintu. Kamu teh kenapa atuh jam segini baru pulang? Padahal baru hari pertama sekolahnya juga."

"Nya, gak ngaruh atuh, Bu. Walaupun hari pertama juga. Mana aku harus nunggu Soni dulu," jawab Dhafin. Matanya kini sibuk mencari keberadaan pot bunga berwarna ungu di antara deretan pot bunga warna-warni yang membentuk garis lurus berjejer di bawah jendela.

"Mulai besok biar Ibu aja yang antar jemput kamu supaya gak perlu nunggu Soni dulu."

"Nanti kalau Ibu lupa gimana?" sindir Dhafin membuat Ibunya berdecak di sana.

"Ya sudah, kalau gitu mulai besok naik taksi aja, gak usah nunggu Soni dulu kalau dia kelamaan."

Dhafin tidak lekas menjawab memilih mengambil kunci dulu dari bawah pot bunga lalu membuka pintu.

"Fin?"

"Iya, Ibu, iya."

"Nah gitu atuh kalau ditanya teh langsung jawab. Ya sudah, kamu istirahat aja dulu terus makan makanan yang Ibu masakin tadi pagi. Tinggal kamu angetin aja. Awas kalau sampai berani pesan makanan dari luar! Baju seragam kotornya simpan di tempat cucian, nanti pulang kerja langsung Ibu cuci."

"Iya."

"Ya sudah. Assalamuallaikum."

"Waalaikum salam."

Setelah memastikan sambungan telepon benar-benar sudah terputus, Dhafin memasukan lagi benda itu ke dalam saku celananya. Dia berjongkok di depan pintu yang sudah terbuka lalu membuka ikatan tali sepatunya dan menjinjing benda itu ke dalam rumah.

Hal pertama yang menyambut Dhafin saat pintu terbuka seutuhnya adalah gelap dan sepi, benar-benar jauh dari harapannya. Padahal dia sudah membayangkan, saat pulang sekolah, dia akan menemukan Sarah sedang menunggunya lalu menanyakan bagaimana hari pertama di sekolah barunya. Tetapi alih-alih mendapatkan pertanyaan seperti itu dari ibunya, Dhafin malah harus mendapati rumahnya tidak berpenghuni.

Someday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang