Someday. 26

3K 421 29
                                    

Dhafin, Erick, Ari juga Bilal, duduk melingkar di lantai rumah Mang Odin, tukang batagor yang kebetulan rumahnya berada tepat di depan sekolah. Tempat ini adalah tempat favorit kedua, murid Ghanesa, selain kantin sekolah. Biasanya mereka sering berkumpul pada jam istirahat ataupun jam pulang sekolah untuk sekadar jajan atau numpang istirahat dan salat.

Tapi untuk hari ini, mereka sengaja mampir sebelum pulang sambil menunggu anak-anak klub badminton selesai latihan sekaligus menemani Dhafin menunggu Soni dan menunggu Iponk yang dipanggil Pak Jerry.

"Jadi sebelum ke parkiran, lo gak mampir dulu ke GOR? Gak ketemu dulu sama Pak Jerry?" tanya Erick sambil melihat ke arah Ari yang sedang melepas jacket.

"Niatnya, gue mau mindahin dulu helm dari loker ke motor baru pergi ke GOR?" jawab Ari, melipat jaketnya lantas menyandarkan punggung di dinding.

"Tapi lo udah tau, kalau si Yudis yang kepilih?" Erick bertanya lagi sambil menekuk lutut lalu menyeruput es jeruknya.

"Lah, kenapa bukan si Dhafin yang kepilih? Kemaren lo bilang kalau Pak Jerry --- udah pasti milih dia?" Bilal menyambar pertanyaan Erick dengan pertanyaan lagi sambil melirik ke arah Dhafin yang duduk di sampingnya. Sementara orang yang ditoleh hanya mengangguk samar.

"Gue curiga ada sesuatu yang bikin Pak Jerry ngerubah keputusannya," lanjut Erick, "cuma gue belum tau sesuatu itu apa dan siapa."

Bilal manggut-manggut.

"Lagian, bagusnya si Yudis itu apa coba?  Kalau dibandingin si Dhafin." Erick menimpali lagi, matanya sesekali menatap Ari yang diam. Sedang berpikir? "Tiba-tiba gue jadi penasaran kenapa Pak Jerry tiba-tiba jadi berubah pikiran kaya gitu. Soalnya gue hapal banget Pak Jerry itu orangnya kaya gimana, kalau dia udah menetapkan pilihan, dia pasti akan tetap megang pilihannya itu, sekalipun kata orang pilihannya itu salah. Tapi sekarang aneh banget, setelah dia udah yakin milih si Dhafin eh tiba-tiba malah jadi milih si Yudis." Sedikit banyak sepertinya ucapan Darwin tadi berbekas di pikirannya, hingga Erick berani mengeluarkan opini seperti itu.

Merasakan pembicaraan mulai agak memanas, Dhafin pun ikut bersuara, "Mungkin catatan kemarin itu cuma catatan sementara. Jangan dulu suuzon, Rick." Meski masih dilanda rasa kecewa namun Dhafin juga tidak ingin kalau sampai temannya itu jadi berburuk sangka apalagi sampai menuduh. "Lagian itu haknya Pak Jerry buat ngerubah pilihannya."

Bilal mengangguk setuju pada ucapan Dhafin.

"Gue bukan suuzon, gue cuma nebak-nebak aja."

"Tapi itu beda tipis," ucap Dhafin.

"Ah terserah lah, yang penting kalau sampai tebakan gue bener dan gue tau siapa orangnya gue gak akan segan-segan bikin perhitungan sama dia."

"Buat apa?" tanya Dhafin, "udahlah gak usah dibesarin-besarin."

Ari mengangkat kepala lalu menatap Erick. "Seharusnya lo juga inget betapa apiknya Pak Jerry saat memilih calon pemain yang akan dimasukan ke tim."

Alis Erick bertaut. "Maksud lo?"

"Selain ngeliat bakat, dia juga selalu memperhatikan kesehatan fisik si calon anak didiknya."

Erick diam begitu juga dengan Dhafin dan Bilal. Namun berbeda dengan kedua temannya itu, diamnya Dhafin bukan karena merasa puas mendengar jawaban Ari, melainkan karena dia merasa terancam. Apa jangan-jangan Bang Ari udah tahu? pikirnya.

"Setau gue, Pak Jerry adalah orang yang punya pemikiran panjang. Selain mikirin gimana caranya membentuk tim juara, membentuk pemain yang berkualitas, dia juga selalu mikirin kesiapan mental dan fisik anak-anak didiknya. Dia benar-benar menganut paham bahwa tim yang hebat itu hanya diisi oleh pemain-pemain yang sehat. Dia gak akan mau ambil resiko ngerekrut pemain yang lagi sakit atau dalam masa recovery dari cidera. Gila aja kalau sampai dia berani ngelakuin itu."

Someday.Kde žijí příběhy. Začni objevovat