Someday. 6

4.2K 501 31
                                    

Setelah menunggu hampir 10 menit di halte samping gerbang utama sekolah, akhirnya Dhafin bisa bernapas lega ketika melihat mobil ayahnya melaju pelan ke hadapannya

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.


Setelah menunggu hampir 10 menit di halte samping gerbang utama sekolah, akhirnya Dhafin bisa bernapas lega ketika melihat mobil ayahnya melaju pelan ke hadapannya.

Begitu mobil pabrikan Amerika itu berhenti, Dhafin langsung menarik knop pintunya lalu masuk.

"Maaf Ayah telat 10 menit," ucap Emir sambil mengulurkan tangannya.

Dhafin hanya mengangguk lalu menerima uluran tangan tersebut dan diciumnya. Untuk beberapa detik mereka saling diam, sebelum Dhafin teringat sesuatu yang dia simpan di saku kemejanya.

"Yah."

"Hmm?"

"Anterin aku ke dokter."

Emir yang sedang fokus mengemudi langsung menoleh dan memperhatikan wajah anaknya.

"Kamu sakit?"

Dhafin menggeleng.

"Terus?"

"Aku mau bikin surat keterangan." Dhafin merogoh saku kemejanya lalu memberikan kertas formulir yang kini sudah terisi kepada ayahnya.

"Ini apa?"

"Formulir pendaftaran yang aku ceritain waktu itu."

Emir mengangguk paham lantas membaca formulir itu sekilas.

"Ibu kamu udah kasih izin?"

"Belum," jawab Dhafin singkat. "Tapi, Ayah bilangkan selama aku baik-baik aja, aku boleh ikut. Jadi Ayah aja yang kasih izin dan tanda tangan."

"Kamu yakin? Tapi, teman-teman kamu di tim nanti gimana? Mereka gak ada yang nakal atau--"

"Aku yakin. Aku udah kenal sebagian dari mereka dan mereka baik," sela Dhafin.

Emir tidak langsung menjawab membuat Dhafin merasa serba salah. Tapi saat teringat janji Iponk yang akan membantunya masuk tim meski tanpa izin orangtua dan dokter membuat Dhafin sedikit agak tenang. Walaupun dalam hati kecilnya Dhafin sangat berharap kalau dia akan datang ke sekolah esok hari dengan membawa izin dari orangtuanya.

"Fin?"

"Iya, Yah?" Dhafin menyahut dengan semangat berharap ayahnya akan mengatakan 'iya'.

"Kamu mau janji satu hal sama Ayah?"

"Apa?" tanya Dhafin sambil mengangguk. Perasaanya mulai tidak enak.

"Kamu jangan melampiaskan perasaan kamu sama olahraga lagi."

Kening Dhafin mengerut, tapi dia sudah paham akan garis besar ucapan ayahnya.

"Kalau kamu ngerasa ingin marah, lampiaskan pada hal lain atau pada orang yang udah mancing kemarahan kamu. Jangan sampai kamu memendamnya terus kamu lampiasin ke diri kamu sendiri. Akhirnya kamu yang rugi 'kan?"

Someday.Donde viven las historias. Descúbrelo ahora