Someday. 27

3.1K 412 36
                                    

Dhafin mengakui. Apa yang sudah dialami Ari boleh saja hampir sama seperti dirinya; sama-sama ditinggalkan saudara kandung untuk selama-lamanya, lalu setelahnya sama-sama kesulitan menerima kenyataan.

Tapi kesamaannya hanya sampai di situ saja karena cerita lainnya jelas jauh berbeda. Walau Ari harus ditinggalkan adiknya, tapi setidaknya adiknya itu pergi karena sakit. Dan laki-laki itu juga masih memiliki orangtua yang lengkap, keluarga yang utuh, yang senantiasa akan selalu ada dan siap di saat dia butuh.

Sedangkan dirinya? Selain kakaknya meninggal karena dibunuh, saat itu juga orangtuanya sudah dalam status bercerai. Keluarganya berantakan. Dan yang lebih mirisnya lagi ialah; ternyata pembunuh kakaknya adalah adik dari suami baru ibunya.

Lalu pada bagian mananya Dhafin harus merasa jauh lebih beruntung?

Tanpa sadar Dhafin tersenyum miris. Mulai sekarang biarlah orang lain berpikir dan menilainya seperti apa, Dhafin tidak akan peduli. Karena mereka hanya sebatas melihat, bukan merasakan.

"Fin? Lo ada?"

Suara Ari tiba-tiba saja masuk ke pendengaran Dhafin, menariknya secara paksa dari dalam lubang lamunan. Dia sedikit tersentak, tapi tidak lama. "Ada," jawabnya singkat saja.

"Syukurlah." Dari balik helm full face-nya Ari tersenyum. "Diem aja. Gue pikir lo ketinggalan di warung Mang Odin," ujarnya.

Dhafin hanya menyunggingkan senyum, tidak berniat membalas lelucon garing Ari.

"Fin?" panggil Ari lagi.

"Ya?"

"Lo diem aja bukan karena marah sama gue 'kan? Sama omongan gue tadi?"

"Nggak," jawab Dhafin sambil menutup kaca helmnya di saat angin semakin kencang menerpa wajahnya.

"Syukurlah. Omongan gue tadi gak dianggap serius juga gak apa-apa. Anggap aja tadi gue lagi kerasukan setan bijak makanya nyeplos kaya gitu."

Dhafin tersenyum. "Mana ada setan bijak, Bang?"

"Ya kali aja gitu setannya lagi males buat ngomporin makanya jadi bijak sejenak," jawab Ari, melantur. "Tapi, Fin. Untuk bagian gue yang gak mau kalau lo maksain diri, khusus itu harus dianggap serius. Gue ngomong kaya gitu bukan karena gue kerasukan setan peduli, ya, tapi karena gue emang bener-bener peduli." Ada jeda, Ari memelankan laju motornya dulu saat sampai di lampu merah sebelum melanjutkan ucapannya. "Asal lo tau, gue gak akan sepeduli itu sama orang kalau orang itu gak gue anggap penting," pungkasnya sambil menarik tuas gas saat lampu sudah kembali hijau.

"Emang sepenting itu?" tanya Dhafin, sangsi. Meragukan apakah ucapan Ari itu memang tulus atau sekadar ucapan kosong belaka.

"Jawab sendiri," jawab Ari, "gue paling males sebenernya ngomong kaya gitu tuh. Soalnya gue lebih suka ngasih bukti ketimbang ngasih omongan doang. Gak guna banget."

"Tapi sebelum buktiin, Bang Ari tetep harus ngomong dulu supaya orang gak salah paham. Gak semua orang bisa peka sama apa yang kita tunjukin, Bang. Kadang ada juga orang yang justru butuh lebih banyak omongan ketimbang bukti nyata."

"Dan gue orang yang gak bisa kaya gitu," sahut Ari.

Dhafin tersenyum. Tatapan matanya menyayu. "Aku cuma khawatir aja kalau Bang Ari kaya gitu terus, Bang Ari akan di manfaatin orang-orang yang cuma mau nyari keuntungan buat diri sendirinya doang. Kakakku." Dhafin langsung diam, ucapan itu tanpa sadar diucapkannya.

"Kakak lo kenapa, Fin?" tanya Ari saat orang yang berada di boncengannya tiba-tiba diam. "Ceritanya jangan gantung gitu, gue suka penasaran."

"Kakak ku sifatnya kurang lebih kaya Bang Ari juga." Usai mengatakan itu, Dhafin langsung menghela napas.

Someday.Where stories live. Discover now