Someday 18.

3.4K 419 32
                                    


Matanya berbinar. Bibirnya melengkungkan garis senyuman saat melihat mobil milik Sarah yang ditunggunya sejak sepuluh menit lalu akhirnya datang.

Rasa kesal yang semalam menyelimutinya seakan pudar begitu saja ketika Sarah yang berada di dalam mobil tersenyum ke arahnya sambil melambaikan tangan.

Dhafin sontak berdiri. Berjalan pelan menghampiri mobil yang sudah sepenuhnya berhenti itu lalu mengitarinya dan membuka pintu penumpang.

"Hei kasep --- anak Ibu." Sapaan hangat khas Sarah langsung menyambut Dhafin yang baru saja duduk. "Maaf ya agak telat."

Dhafin membalasnya dengan seulas senyum. Lalu menyalami Sarah. "Padahal kalau Ibu gak jemput juga gak apa-apa. Aku bisa bareng sama Soni," ujarnya, canggung. Entah kenapa tiba-tiba saja dia merasa malu pada ibunya itu.

"Tapi Ibu pengin jemput. Gimana dong?" tanya Sarah. Gaya bicaranya agak kaku. Dia pun merasakan hal yang sama dengan Dhafin. Hanya saja dia lebih bisa menguasai diri untuk bisa mencairkan suasana.

"Oh," balas Dhafin sambil mengusap tengkuk leher.

"Kita langsung pulang aja?"

Dhafin mengangguk, kemudian tangannya bergerak menahan lengan Sarah yang sudah akan memutar setir. "Bu?"

"Hm?" Sarah menoleh. Menatap lembut wajah Dhafin. "Kenapa? Ada yang ketinggalan?"

Bukannya menjawab, Dhafin malah langsung memeluk Sarah. Membuat orang yang dipeluknya secara tiba-tiba itu otomatis kaget.

"Aku cuma mau ngomong sekali aja. Ibu jangan jangan banyak tanya."

Sarah mengangguk. Membalas pelukan Dhafin dengan eratnya.

"Maaf," ucap Dhafin, cepat, singkat, padat dan jelas. Dia tidak perlu menjelaskan apapun. Dia yakin ibunya akan langsung mengerti maksud ucapan maafnya tersebut.

Sarah membisu. Ini benar-benar diluar dugaannya. Dia pikir, si bungsunya ini masih sangat marah. Sehingga tidak mungkin melakukan ini. Bahkan dia sudah bersiap jika Dhafin tidak akan mau berbicara dengannya.

"Bu?" Dhafin mengurai pelukannya lalu menyentuh pipi ibunya. "Ibu gak mau maafin aku?" tanyanya, putus asa. Dia sadar sudah sangat keterlaluan kemarin.

Sarah menggeleng. Matanya mendadak perih. Kenapa Dhafin harus minta maaf? Padahal menurutnya, yang dilakukan Dhafin semalam wajar saja. Lagi pula dia sudah memaafkannya.

"Yah ...." Dhafin mendesah keras lalu mengacak rambutnya yang mulai memanjang. "Ibu ... mah. Kemarin itu aku khilaf makanya ngomong kasar dan kurang ajar."

"Ibu tau. Semarah apapun kamu, biasanya gak akan marah-marah kaya gitu dan lebih milih ngelampiasinnya sama diri sendiri. Dan bola basket." Sarah tersenyum. "Tapi itu bagus."

Kening Dhafin mengerut. Bagus apanya? Dia marah-marah, bagus?

"Ibu malah lebih gak suka lagi kalau ngeliat kamu nyiksa diri sendiri." Sarah mengelus pipi Dhafin kemudian merapikan rambutnya yang berantakan. "Harusnya Ibu yang minta maaf. Ibu sebenernya malu---"

"Aku gak mau denger lanjutannya." Dhafin menurunkan tangan Sarah dari kepalanya. "Ibu emang salah. Tapi, itu hak Ibu. Sekaligus -- membuktikan kalau Ibu masih normal dan bisa move on dari ayah," celetuknya.

Sarah mendengus geli.

"Tapi itu bukan berarti kalau aku setuju, Ibu sama Oscar." Dhafin mendelik. Mata sipitnya seakan siap menguliti Sarah. "Selain dia gak sekeren Ayah. Ibu juga terlalu cantik kalau buat laki-laki kaya dia."

Sarah bungkam. Sambil menginjak pedal gas dia memilih jadi penyimak saja daripada nantinya menyulut perselisihan lagi antara dirinya dan Dhafin.

"Bagusan juga ayah ke mana-mana." Dhafin bergumam seraya memasang sabuk pengaman dan menyimpan tas di sela kakinya. "Ngomong-ngomong, Ibu gak kerja?"

Someday.Where stories live. Discover now