Someday. 1

6.9K 581 76
                                    


Dhafin menarik napas dalam-dalam melalui hidung, lalu mengembuskannya lagi pelan-pelan melalui mulut. Kegiatan itu diulangnya beberapa kali sampai perasaannya agak tenang dan jantungnya tidak terlalu berdetak cepat. Matanya menatap horor beberapa pasang mata yang tengah memandangnya seperti manusia langka dan aneh sambil berbisik-bisik satu sama lain.

"Namanya Dhafin Ibrahim, teman baru kalian pindahan dari Sukabumi," ucap Pak Samsul. Guru sekaligus wali kelas XI B IPS itu memperkenalkan Dhafin kepada 24 orang muridnya dengan ramah.

"Pantesan kasep," komentar salah satu murid perempuan yang duduk di bangku paling depan.

"Nama panggilannya apa? Dhafin? Ibrahim? Apa Ujang?" timpal salah seorang siswa laki-laki  sambil tertawa.

"Teman aing itu!" seru siswa laki-laki lain yang duduk di bangku paling belakang.

"Sudah-sudah, kalian nanti bisa tanya langsung kepada Dhafin saat jam istirahat saja." Dahi Pak Samsul mengerenyit saat mendengar suasana kelas mulai riuh oleh pertanyaan-pertanyaan aneh untuk anak didik barunya itu.

"Monggo Dhafin, kamu duduk dulu … di belakang bangkunya Hana," perintah Pak Samsul. Jari telunjuknya menunjuk bangku kosong di jajaran keempat dari depan, tepat di belakang seorang gadis dengan rambut kuncir kuda.

Dhafin tersenyum kaku. Dia bingung harus menanggapinya dengan ekspresi seperti apa. Jadi, Dhafin langsung berjalan menuju bangku yang ditunjuk oleh Pak Samsul, masih dengan iringan tatapan penasaran dari semua penghuni kelas, kecuali gadis yang duduk di depannya yang nampak sangat tidak peduli.

Ini adalah pengalaman pertama Dhafin merasakan pindah sekolah. Jadi, dia tidak pernah tau rasanya menjadi murid pindahan. Apalagi pindah sekolah ke kota besar seperti Jakarta di semester kedua awal ini.

Andai saja Abah, ayah dari ibunya tidak dibawa pindah oleh uwa-nya ke Palembang. Mungkin sampai saat ini, Dhafin masih berstatus sebagai siswa salah satu SMA Negeri di Sukabumi, kota asal ibunya. Tapi, berhubung Abah dibawa pindah ke Palembang, sedangkan ibunya harus bekerja di Jakarta, jadi terpaksa Dhafin ikut pindah juga ke Jakarta. Karena jika Dhafin tetap tinggal di Sukabumi, dia akan sendiri dan tidak ada yang akan mengurus keperluannya.

"Seneng banget, akhirnya kita teh bisa sekelas lagi."

Dhafin menolehkan kepala ke sampingnya, melihat langsung pada sumber suara yang menegurnya sambil cekikikan.

"Iya, Son." Bibir Dhafin melengkung saat mendapati Soni, temannya saat masih SMP di Sukabumi itu ternyata yang menjadi teman sebangkunya. Saking merasa geroginya, Soni sampai lolos dari pandangan Dhafin.

"Bangku ini, aku yang pesan loh, Fin. Aku minta si Maruli supaya ngosongin bangku ini, khusus buat kamu," ujar Soni bangga.

"Oh, nuhun ya, Son," jawab Dhafin seadanya.

"Santai aja, Fin. Kita kan friend," ujar Soni, sambil menyikut lengan Dhafin.

Dhafin tersenyum. Soni Ericsson adalah teman dekatnya  sejak masih SMP. Soni dulunya sempat tinggal di Sukabumi juga, tetapi berhubung usaha kwetiaw ayahnya di Sukabumi bangkrut, jadi Soni dibawa kembali pindah ke Jakarta, ke kota asal ayahnya selepas lulus SMP.

Bahkan Dhafin bisa bersekolah di sini juga atas rekomendasi Soni, yang sudah dari jauh-jauh hari meminta pada ibunya Dhafin agar memasukan Dhafin di sekolah yang sama dengannya saat mendengar temannya itu akan pindah ke Jakarta. Sarah, ibu Dhafin, sempat menolak permintaan Soni tersebut, karena jarak rumahnya yang lumayan jauh. Tetapi Soni akhirnya berhasil membujuk ibu temannya itu dan tentu saja karena campur tangan Dhafin juga hingga Sarah memberinya izin.

Someday.Kde žijí příběhy. Začni objevovat