Someday.24

3.3K 464 27
                                    

Setelah menyimpan sepatu basahnya di kamar mandi, Dhafin pun memilih mengistirahatkan tubuh lelah dan lemasnya sejenak di sofa sembari menunggu ayahnya sampai ke apartemen tanpa mengganti baju seragamnya terlebih dahulu.

Tidak menyalakan TV, tidak juga mengutak-atik ponselnya, Dhafin hanya bersandar rendah di sana sambil memejamkan mata menikmati suara hujan dari luar yang terdengar samar. Mengiringi nyeri yang terasa di bahunya.

Sakit itu sudah dirasanya sejak masih berada di lapangan sebetulnya, hanya saja ambisinya yang kelewat besar untuk tetap bermain basket dan lolos seleksi, berhasil membuatnya mengabaikan rasa sakit tersebut.

Asal lolos dan dapat bermain basket seperti dulu, sakit seperti ini rasanya tidak akan menjadi masalah.

"Assalamualaikum."

"Waalaikum salam." Dhafin sontak menegakan tubuhnya kemudian bangun dari duduknya, menghampiri ayahnya. "Ayah gak kehujanan?" tanyanya sambil menyalami tangan Emir.

"Nggak," jawab Emir. Melepas sepatunya kemudian berdiri merangkul Dhafin. "Kenapa lagi?" tanyanya, melihat Dhafin meringis.

"Agak ngilu," jawab Dhafin seraya melepas rangkulan ayahnya kemudian berjalan lebih dulu menuju dapur.

"Emang tadi latihannya berapa jam?" Emir menaruh tasnya lalu duduk, memperhatikan Dhafin yang sedang membuatkan teh hangat untuknya dengan tatapan heran. Pasalnya Dhafin tidak pernah melakukan itu atas inisiatif sendiri. "Sebelum ke sini kamu dikasih wejangan dulu sama ibu?"

"Nggak. Aku cuma udah dapat inspirasi aja, makanya mau ngelakuin ini," balas Dhafin santai sambil menyuguhkan teh hangat yang dibuatnya ke hadapan Emir. "Maaf, kalau rasanya beda sama buatan Aa."

"Jadi, inspirasi itu dari Aa?" Emir tersenyum kecil. Mengangkat cangkir kecil di hadapannya kemudian menyesap isinya perlahan.

Dhafin mengangguk. "Gimana, Yah?" tanyanya antusias seraya memperhatikan ekspresi Emir. "Gak enak?"

"Enak."

Dhafin menghela napas.

"Tapi kalau gulanya kamu kurangin sedikit pasti bakalan lebih enak." Emir tersenyum, mengacungkan ibu jarinya pada Dhafin. "Lain kali, biar Ayah bikin sendiri aja," ucapnya, melanjutkan meminum teh.

"Sampai Ayah belum punya istri lagi, aku yang akan ngelakuin ini."

Emir langsung tersedak, sampai sebagian teh keluar lagi dari hidungnya.

"Ayah kaget?" tanya Dhafin, menyerahkan sekotak tisue pada Emir.

"Kenapa kamu ngomongin itu?" Emir balik bertanya seraya mengusapkan tisue di area mulutnya.

"Emang gak boleh?" balas Dhafin.

Emir menggeleng.

"Kalau ibu aja bisa move on, berarti Ayah juga harus bisa move on. Aku gak akan protes lagi, asal orang itu baik, sayang dan mau ngerawat Ayah. Aku gak apa-apa."

"Ayah masih belum perlu pasangan hidup lagi untuk sekarang. Ayah pengin fokus ngurus kamu, ngumpulin uang sebanyak-banyaknya buat nyekolahin kamu, ke manapun kamu mau," sahut Emir. "Kebahagiaan kamu sama masa depan kamu, jadi prioritas utama Ayah sekarang. Gak ada yang lain."

Dhafin mendengus. "Sekarang aku baru tau, sifat A Dhami itu nurun dari siapa."

Emir tersenyum.

"Ayah jangan egois. Ayah juga harus mulai mikirin diri sendiri. Selepas SMA bisa aja aku kuliahnya jauh, terus kerja jauh juga dan selama aku jauh itu, siapa yang mau ngurus Ayah?"

Someday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang