Someday.4

4.5K 491 16
                                    

Begitu masuk ke dalam kamar, Dhafin langsung menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Kernyitan samar terlihat di keningnya saat bahu sebelah kanannya tidak sengaja tertindih.

Dhafin terpaksa bangun lagi dari pembaringan ketika merasa sakit di bahunya itu semakin menjadi. Jari-jarinya langsung bergerak lincah membuka satu per satu kancing baju seragamnya, hanya untuk memastikan jika bahunya tidak kenapa-napa.

"Aww .…" ringis Dhafin, saat baju seragamnya tidak sengaja menggesek bagian bahunya yang sakit. "Pantesan sakit," ujarnya kemudian.

Dhafin dapat melihat dengan jelas bahu kanannya itu memerah dan terasa hangat. Isi nakas yang terletak di samping tempat tidurnya langsung diacak oleh Dhafin hanya untuk mencari painkiller yang biasa disimpan di sana, tapi sial, yang dia dapati hanya bungkus kosongnya saja.

Sembari menahan sakit Dhafin keluar dari kamarnya, dia harus cepat meminta obat itu pada ibunya atau sakit pada bahunya tidak akan mereda. Semoga saja ibunya masih menyimpan stok.

Dhafin mematung sejenak di depan pintu kamar ibunya yang tertutup, ada rasa segan yang menyergapnya ketika dia akan menggerakan tangan untuk membuka kenop pintu tersebut. Seharusnya tadi dia tidak perlu beradu mulut dengan ibunya  dan berlaga seolah dia tidak akan memerlukan apapun lagi dari perempuan yang sudah melahirkannya itu. Karena pada akhirnya ternyata dia masih amat sangat bergantung pada ibunya.

"Bu."

Dhafin mendorong pintu kayu itu dengan perlahan, matanya langsung bisa melihat cahaya temaram di kamar tersebut meski pintu itu belum terbuka seutuhnya.

"Bu, obat --"

Hati Dhafin mencelos seketika, melihat ibunya sedang duduk di depan meja nakas sambil merapatkan kedua telapak tangannya. Sementara di meja nakas tersebut ada sebuah salib dan lilin yang menyala di depan sebuah photo.

Dhafin tidak melanjutkan langkahnya karena takut mengganggu, dia lebih memilih berdiri melihat kegiatan berdoa yang sedang dilakukan ibunya untuk Dhami, kakak laki-lakinya.

Kaki Dhafin mundur selangkah, saat tiba-tiba telinganya menangkap suara isakan yang lolos dari bibir ibunya.

"Dhami …."

Dhafin mundur lagi selangkah. Suara lembut yang sarat akan kerinduan itu terasa sangat miris di telinganya dan semakin lama terdengar sangat memilukan. Hingga Dhafin merasa tidak sanggup lagi untuk berlama-lama mendengarnya.

Dengan sangat hati-hati Dhafin menutup kembali pintu itu dan memastikan dia tidak menimbulkan suara sekecil apapun. Setelahnya Dhafin memutuskan pergi ke dapur mengambil es batu dari kulkas untuk mengompres bahunya, biasanya cara itu bisa sedikit mengurangi rasa sakit.

Kernyitan yang muncul pada kening Dhafin semakin jelas terlihat, sesekali dia mendesis sambil memegangi lengan kanannya itu dengan tangan sebelah kiri.

"Sial!"

Dhafin mengumpat keras saat merasakan getaran ponsel di saku celananya.

Suara erangan keluar dari mulut Dhafin, mati-matian dia berusaha menahan sakit demi untuk bisa mengambil benda itu, yang sialnya berada di saku celana sebelah kanannya.

Ayah calling ….

Tangan Dhafin bergetar hebat sesaat setelah dia berhasil mengeluarkan benda tersebut.

"Halo," sapa Dhafin langsung.

"Halo Dhafin, Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

"Lagi ngapain?"

'Lagi sakit, Yah.' "Lagi istirahat aja, Yah," bohong Dhafin.

"Oh, Ayah gak ganggu 'kan?"

Someday.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang