Someday. 25

3.3K 398 16
                                    

"Fin ... sarapan dulu!"

Seruan milik Emir dari luar kamar mengusik keasikan Dhafin mengobrol dengan ibunya yang sudah berlangsung sejak setengah jam yang lalu.

"Ayah udah nyuruh sarapan, Bu. Ngobrolnya lanjutin nanti."

"Iya, gak apa-apa. Kamu hati- hati ya di situ. Jangan ngerepotin ayah,  jangan nakal di sekolah dan jangan sakit. Kalau ada keperluan apa-apa langsung kasih tau Ibu."

"Iya."

"Yang Ibu omongin tadi jangan terlalu dipikirin, ya. Ibu gak maksa kamu buat pulang dan nginep di sini kok."

"Iya, Bu," jawabnya singkat sebelum melanjutkan. "Pokoknya kalau nanti tiba-tiba aku kepikiran pengin pulang, aku pasti kasih tau Ibu."

"Hm ... ya udah, kamu sarapan aja dulu, kasian Ayah kamu pasti udah nunggu. Bye Sayang."

"Bye." Dan sambungan telepon pun terputus. Ponsel ber-chasing putih yang sedari tadi digengam itu lalu dilemparnya asal ke tengah kasur. Dhafin berdiri kemudian melangkah ke luar kamar.

Ayahnya sedang berdiri membelakangi meja makan sambil mewadahi susu ke dalam gelas saat Dhafin menarik kursi lalu duduk.

"Ayah kok bikin bubur?" tanya Dhafin heran. Kepalanya melongok, mengintip isi dari mangkuk putih di depannya.

Emir menoleh, lalu membawa gelas berisi susu yang dituangkannya ke hadapan Dhafin sebelum dia ikut duduk di kursi depan anak itu. "Kamu 'kan lagi gak enak badan. Makanya Ayah bikinin itu, tapi gak tau rasanya enak apa nggak."

"Emang gak Ayah cicip?"

"Cicip. Rasanya lumayan sih menurut Ayah." Emir mengasongkan sendok. "Tapi gak tau kalau menurut kamu."

Dhafin merengut singkat, tapi tak urung dia menarik mangkuk bubur itu mendekat. "Makasih, Yah," ucapnya, sambil menerima sendok dari Emir dan mulai mengaduk buburnya lantas menyicipnya. "Enak."

Emir tersenyum senang sambil memperhatikan Dhafin makan. "Oh iya, hari ini Ayah masih ada kerjaan di Bekasi, jadi kemungkinan pulangnya agak telat kaya kemarin. Gak apa-apa 'kan?"

Sambil mengunyah, Dhafin menggelengkan kepala. "Santai aja, Yah."

"Tapi kalau misalnya kamu bosen nunggu di sini, terus mau mampir dulu ke rumah ibu selama Ayah belum pulang juga gak apa-apa, nanti Ayah jemput ke sana," tawar Emir.

Dhafin mendongak sambil berpikir sejenak. Tadi, di telepon, ibunya memang memintanya untuk mampir ke rumah, bahkan sampai mau menjemput ke sekolah. Ibunyajuga mengatakan kalau Oscar akan berangkat ke Australia sore ini, menjemput Martin. Jadi sudah dapat dipastikan ibunya hanya sendiri di rumah.

Tapi Dhafin merasa tidak perlu memberitahukan perihal itu pada ayahnya.

"Gimana?" Emir bertanya lagi.

Dhafin mengangguk. "Nanti jemput aku ke rumah ibu."

"Oke." Emir kemudian bangkit dari duduknya. "Kalau gitu, sambil nunggu kamu abisin buburnya, Ayah mau ganti baju dulu, takutnya sopir yang mau jemput keburu datang."

"Ayah gak bawa mobil sendiri?"

"Nggak," jawab Emir, "makanya kamu juga harus buru-buru."

"Hm." Dhafin menjawab singkat sembari terus menyantap sarapannya.

***

Dhafin tak henti-hentinya menoleh ke arah Emir dengan tatapan bertanya-tanya. Terhitung sejak dia naik hingga sekarang hampir sampai ke sekolah. Ayahnya itu terus-terusan tersenyum setiap kali usai melihat layar ponsel.

Someday.Where stories live. Discover now