someday 11.

3.5K 510 32
                                    


Sama seperti biasanya, hari ini pun Dhafin memilih duduk di bangku kayu milik penjual es buah di depan gerbang sekolah sambil menunggu Dhami datang untuk menjemputnya.

Sebagian siswa sudah pulang sejak satu jam tadi, Tinggal beberapa siswa yang mengikuti kegiatan ekskul saja yang masih tersisa termasuk dirinya. Tetapi berhubung lokasi bangunan sekolah berada tepat dikawasan biasa anak-anak remaja berkumpul dan nongkrong, jadi suasana tidak terasa begitu sepi.

Dhafin mengangkat sebelah lengannya yang dilingkari oleh jam tangan berwarna hitam, melihat jarum pendeknya yang sudah menunjuk angka lima. Tidak seperti biasanya, Dhami membuatnya menunggu. Biasanya saat dia keluar dari gerbang, motor bebek milik kakaknya itu sudah terparkir di samping gerobak penjual es buah.

"Nunggu A Dhami?" tanya si penjual es kepada Dhafin, tidak asing. Dhami juga dulu bersekolah di sini dan menjadi pelanggannya selama bersekolah bahkan hingga sekarang. Jadi si penjual es sudah kenal betul pada Dhami.

"Iya, Mang. Tapi tumben belum datang," jawab Dhafin. "Biasanya suka udah nongkrong di sini sambil makan es."

"Tadi teh udah ke sini. Tapi katanya mau nganterin dulu temennya ke terminal. Mau berangkat ke Bandung," ujar si penjual es dengan logat sunda yang sangat kental. "Paling sebentar lagi juga datang. Tunggu aja dulu."

"Iya," sahut Dhafin sekenanya.

Beruntung, belum juga satu menit setelah si penjual es mengatakan itu. Dari arah kanan, Dhafin bisa melihat motor bebek berwarna biru yang dikendarai oleh Dhami melaju ke arahnya.

"Maaf, lama." Dhami menaikan kaca helm-nya setelah berhenti tepat di samping gerobak es, kemudian dia memberikan helm lainnya yang dia bawa kepada adiknya.

"Teh Kia jadi berangkat ke Bandung?" Dhafin menerima helm yang diasongkan Dhami lalu mengenakannya, asal. Toh rumahnya juga tidak terlalu jauh dari sini. 

"Iya. Pake helm yang bener!" tegur Dhami, melihat Dhafin hanya memakai helm sekenanya saja. "Kalau udah kecelakaan baru tau rasa."

"Iya-iya." Dhafin menurut, melihat kakaknya itu menegur dengan tatapan mengancam. "Kita langsung pulang?" Lanjutnya.

"Kita makan dulu," ucap Dhami.

"Emang di rumah gak ada makanan? Bukannya Ibu juga lagi ada di rumah ya, A?"

Dhami berdeham. "Lagi pengin makan di luar. Lagian Ibu gak masak apa-apa, jadi percuma kalau langsung pulang juga, Ibu pasti nyuruh Aa beli makanan dari luar. Tapi kalau kamu mau pulang, ya pulang aja. Biar nanti Aa balik lagi nyari makanan," tawarnya.

Berpikir sejenak, kemudian Dhafin menggeleng. Setelah mendengar cerita dari kakaknya, sepertinya pulang langsung bukan pilihan terbaik. Kalau pada akhirnya dia tetap harus memakan makanan yang dibeli dari luar. "Ya udah, gimana Aa aja." Dhafin pun, langsung naik ke boncengan Dhami. Tidak ingin membuang waktu karena dirinya juga sudah sangat lapar.

Setelah memastikan kalau Dhafin sudah duduk dengan nyaman dan aman, Dhami pun menghidupkan kembali motornya. "Mang, pulang dulu," pamitnya pada si penjual es buah yang sedang melayani pembeli dan hanya disahuti dengan jawaban 'iya'.

"Makan di KFC aja ya? Yang deket. Sebentar lagi kan magrib."

"Iya, ke mana aja. Asal Aa yang bayarin," teriak Dhafin, pasrah. Dia tahu, bukan tanpa alasan Dhami memilih tempat itu, selain Jarak dari sekolah ke KFC kurang dari 1 kilometer, tempat itu juga memiliki jarak yang lumayan dekat dengan mesjid agung. Jadi nantinya dia bisa menunaikan ibadah salat magrib dulu sebelum pulang ke rumah.

Someday.Where stories live. Discover now