Someday 5.

4.5K 529 43
                                    

"Gue suka gaya lo! Gak nyangka gue kalau si Soni punya teman bertalenta kaya gini."

Tubuh Dhafin sedikit terdorong ke belakang saat Ivan atau Iponk menerjangnya dengan sebuah pelukan dari arah depan. Setelah dia berhasil melakukan tembakan 3 poin dan membawa tim 'dadakannya' menang atas tim Yudis.

"Padahal cuma 10 menit lho, tapi lo berhasil memikat gue. Gue gak bisa bayangin gimana kalau Pak Jerry ada di sini sekarang."

Dhafin hanya menunjukan senyuman terbaiknya ketika Iponk terus-terusan memberikan apresiasi kepadanya. Sedikit tidak menyangka karena awalnya Dhafin menyangka kalau Iponk adalah sosok yang arogan, tapi ternyata tidak. Iponk sangat ramah dan friendly, atau semua anggota tim basket Ghanesa memang seperti itu? Mengingat Ari yang Dhafin kenal sebagai bagian dari tim juga sangat ramah dan friendly.

"Setelah ini, gue pastiin kalau lu akan masuk tim inti, Fin."

Dafin menelan ludah mendengar penuturan penuh percaya diri dari Iponk. Bukan apa-apa, tapi dia merasa mulai goyah karenanya. Padahal dia sudah berjanji tidak akan bermain basket sampai cederanya sembuh total pada ibunya.  Kalau terus-terusan seperti ini dia jadi merasa tidak yakin akan konsisten untuk menepati janjinya.

"Aku sebenarnya udah punya formulir pendaftarannya, Ponk," jujur Dhafin meski terdengar agak ragu saat mengatakannya.

"Serius?" Iponk menatap Dhafin antusias. "Udah lo isi? Kalau perlu gue aja yang balikin ke Pak Jerry."

"Tapi belum dapat izin dari orangtua dan juga masalah surat keterangan dok--"

" Yaelah, masalah surat dokter mah gak usah dipikirin, gampang. Gue bisa langsung rekomendasiin lo ke si Ari ataupun Pak Jerry."

"Masalah izin orangtua?"

"Gampang juga, itu bisa diatur. Selama bakat lo mumpuni itu bisa tertutupi. Pak Jerry bisa mengcover semuanya."

Ada semilir rasa senang ketika Dhafin mendengarnya, tapi tidak, dia tidak boleh tergoda hanya karena iming-iming seperti itu.

"Lo cuma perlu nunjukin keseriusan dan kemampuan lo aja, gue yakin orangtua lu nanti pasti ngijinin."

'Mereka emang udah ngijinin.'  Dhafin berujar dalam hati. Orangtuanya memang memberinya ijin tapi tidak sekarang. Dan itu tidak bisa diganggu gugat.

"Aku pikir-pikir lagi deh, nanti."

Tanpa terasa mereka berjalan beriringan hingga ke sisi lapangan.

"Gak usah lama-lama tapi mikirnya. Kalau perlu gue akan neror lo tiap hari!" ancam Iponk lalu pergi begitu saja ke arah toilet.

Dhafin mengangguk samar.

"Dhafin woi! Dhafin Ibrahim anaknya Bapak Emir Ibrahim sini!"

'Soni gelo!' Dhafin langsung mengumpat begitu mendapati Soni melambaikan tangan ke arahnya sambil duduk di antara para siswa perempuan. Meski malas dan kesal, tapi Dhafin tetap menghampiri temannya itu.

Bukan tanpa alasan Dhafin merasa kesal pada laki-laki berkacamata tersebut. Setelah Soni menyeretnya ke tengah lapangan, Soni malah melengos begitu saja meninggalkannya seperti  obat nyamuk di antara orang-orang yang belum terlalu dikenalnya. Untung saja Dhafin bisa langsung menyesuaikan diri, sehingga dia tidak melalui masa 'mati kutu' dulu.

"Teman aing ini! Teman aing!"

Ingin rasanya Dhafin menggeplak kepala Soni saat mendengar ujaran bangga Soni kepada teman-teman perempuannya.

"Dhafin, ikut duduk dong! Biar lebih akrab."  Gadis berambut cepol bersuara nyaring mengajak Dhafin supaya ikut bergabung.

"Iya." Soni memainkan alisnya memberi isyarat supaya Dhafin ikut duduk.

Someday.Where stories live. Discover now