Someday 16.

3.7K 418 50
                                    

"Minum dulu." Oscar dengan sebuah cangkir berbahan keramik di tangannya menghampiri Sarah yang sedang duduk di kursi ruang keluarga. "Teh ini katanya bisa bikin kita agak rilex."

"Makasih," ucap Sarah pelan, sebelum menyesap teh tersebut sedikit demi sedikit. "Kamu gak jadi pulang?" tanyanya kemudian.

"Kayanya gak jadi," gumam Oscar, "aku gak tega ninggalin kamu sendirian di sini. Lagi pula aku takut kalau kamu akan kepikiran buat ngabisin obat tidur itu dalam sekali tenggak pas aku gak ada," imbuhnya seraya tersenyum kecil.

"Abis itu, kamu takut disalahin karena kamu orang terakhir yang bareng sama aku?"

"Ya." Oscar mengusap tengkuknya, kikuk.

"Tenang aja, Car. Sampai saat ini aku gak kepikiran buat ngelakuin itu lagi. Cukup sekali --- dan aku tau itu bodoh banget," cicit Sarah dengan mata menerawang kosong ke depan. "Cukup Dhami yang tau seberapa bobrok mental ibunya ini. Aku gak mau Dhafin sampai tau juga."

Oscar menoleh sambil menghela napas berat. "Aku yakin, Dhafin akan ngerti seperti Dhami, kalau dia tau apa yang melatar belakanginya."

"Sulit banget." Sarah tertawa miris. "Aku gak mungkin menceritakan semua kesulitan yang aku alami sama Dhafin. Sebagai ibu, aku cuma pengin Dhafin tau tentang yang senang-senangnya aja. Bukan yang sulit-sulitnya."

Oscar mengangkat sebelah lengannya lantas mengusap punggung perempuan itu pelan. "Tapi--- itu artinya; kamu harus bersiap menerima kesalahpahaman terus menerus dari anak kamu sendiri. Kamu juga harus bersiap kalau Dhafin --- mungkin akan benci sama kamu."

"Itu lebih baik." Sarah menyela ucapan Oscar secepat mungkin. "Daripada aku harus menceritakan tentang seberapa banyaknya kebencian yang aku terima dari orang lain demi untuk melindungi dia dan Dhami."

"Itu gak adil, Sa. Kamu udah banyak berkorban demi mereka."

Sarah tidak membalas ucapan Oscar. Tidak ada kalimat yang bisa ia sampaikan untuk membantah perkataan itu. Ia lebih memilih diam sambil merasakan kehangatan dari cangkir yang dipegangnya.

"Malam ini kayanya aku akan nginep di sini." Oscar berdiri lantas berjalan ke arah kamar yang Sarah sediakan untuk tamu. "Terserah, kamu mau usir aku atau apapun. Aku cuma harus mastiin kalau kamu masih hidup besok."

Sarah hanya menyunggingkan senyum tipis mendengar perkataan itu. Otaknya sudah terlalu penuh oleh masalah Dhafin, dan ia tidak ingin menambahnya dengan berdebat bersama Oscar di tengah malam seperti ini. "Maaf," ujarnya sebelum Oscar benar-benar pergi, dan pintu kamar terdengar di tutup.

Sarah merenung sejenak di tempatnya. Dari sekian banyaknya malam yang telah dilalui, semenjak ia kehilangan Dhami. Malam ini adalah malam yang dirasanya paling sunyi dan terasa sangat panjang.

Biasanya akan ada Dhafin yang mampu mengalihkan perasaan itu. Menemaninya hingga mengantuk dan terus mengajaknya berbicara tentang hal yang menyenangkan. Dan itu selalu berhasil meluruhkan rasa kesepian dari benak dan pikirannya.

Tapi nyatanya. Sarah harus bisa menerima jika sekarang anak itupun tidak ada. Memilih meninggalkan dirinya berteman kesepian dan perasaan bersalah yang nyaris menghantuinya setiap malam.

Sarah beranjak dari duduknya, berjalan pelan menuju kamarnya sendiri sambil tetap memikirkan dan merenungi setiap hal yang sudah ia lalui dan ia lewati selama ini.

Tentang bagaimana sulitnya ia dulu saat harus memendam amarah akan sindiran dan cibiran kebencian dari orang yang tidak merestui hubungannya dengan Emir. Juga bagaimana sulitnya ia, saat harus menerima stigma buruk dari keluarganya dan keluarga Emir karena tetap ingin mempertahankan hubungan yang dilandasi perbedaan tersebut.

Someday.Where stories live. Discover now