someday 21.

3.1K 430 26
                                    


"Halo, Fin kenapa?"

Tubuh Dhafin semakin lemas saja saat suara lembut Sarah menyapa pendengarannya, hingga tanpa sadar ia  berpegangan pada pinggiran ranjang lalu terduduk di lantai diikuti Arman.

"Ibu di mana?" tanyanya pelan.

"Ibu udah perjalanan pulang. Kenapa? Kamu udah lapar? Tenang aja, Ibu udah sekalian beli makan buat kamu."

"Ibu sama siapa?"

"Sama Oscar."

"Pulang, Bu," pinta Dhafin dengan suara tercekat.

"Iya, ini juga Ibu udah di perjalanan pulang, Sayang. Kamu kenapa sih? Sakit? Suaranya kok gitu?"

"Iya," jawab Dhafin, "iya, Bu."

Dhafin tidak langsung menerima jawaban, telinganya malah mendengar Sarah berbicara pada Oscar meminta supaya lebih cepat.

"Bu?"

"Iya, Nak. Iya, sebentar lagi Ibu sampai ke rumah, tunggu dulu sebentar. Teleponnya jangan dimatiin, ya? Minum dulu obat yang Ibu simpen di nakas buat sementara, pas Ibu sampai ke rumah, kita langsung berangkat ke dokter."

Dhafin mengangguk, lalu mematikan ponselnya. Tidak peduli jika Sarah akan mengomel di sana. "Ibu lagi sama Oscar," gumamnya pelan, tapi masih bisa terdengar oleh Arman. "Sejak kapan, A?" tanyanya lagi.

Arman menggeleng. "Dhami yang lebih tau soal itu. Aa gak tau apa-apa."

"Kenapa dia bohong?"

Arman lagi-lagi menggeleng. " Aa bahkan nggak bisa membedakan dia lagi bohong atau nggak. Dhami benar-benar sulit ditebak, Fin."

Dhafin mengerang sambil mendongakan kepala, bersandar pada pinggiran ranjang. Tangan kirinya masih erat memegang surat Dhami. "Dia bilang kalau dia yang nyuruh ibu sama ayah pisah. Dia bilang dia sengaja nutupin itu dari aku. Dia bilang, dia udah tau kalau ibu punya hubungan sama Oscar. Aa ... tau itu, tapi dia diam aja dan bersikap seolah gak ada masalah apa-apa. Dia pembohong."

Arman mengangguk.

"Dia nyimpen masalah itu sendiri, seolah dia paling bisa menyelesaikan semua masalah itu. Dia egois dan parahnya lagi setelah semuanya kacau, dia pergi gitu aja," ucap Dhafin, teramat lirih. Dia berdiri dari duduknya lantas berpindah ke atas ranjang lalu meringkuk di sana.

Arman menundukan kepala, meresapi setiap kata dari ucapan Dhafin. Dhami memang seperti itu, Dhami memang egois. Tapi satu hal yang Arman tahu, Dhami seperti itu semata-mata untuk melindungi Dhafin agar tidak tersentuh oleh masalah-masalah itu. Dhami benar-benar berperan sebagai tameng bagi Dhafin, dia yang berdiri paling depan menghalau segala sesuatu yang sekiranya berpotensi melukai fisik dan mental Dhafin. Intinya, Dhami melakukan itu karena dia sangat menyayangi dan selalu ingin melindungi Dhafin.

Arman jadi teringat ketika suatu kali pernah memergoki Dhami sedang merokok di kamarnya. Saat dirinya masuk, Dhami sudah menghabiskan empat batang rokok sambil memeluk lutut memperhatikan pemandangan yang tampak dari jendela kamar.

Arman tidak menanyakan apapun, ia hanya duduk di belakang Dhami sambil melihat kondisi kamar temannya itu lalu kembali pada Dhami lagi. "Satu batang lagi tuh, Dham," ucapnya seraya menunjuk benda putih yang terselip di antara jemari Dhami yang masih tampak utuh.

"Ini sengaja disisain. Cukup empat aja yang habis kebakar."

Saat itu Arman pikir kalau ucapan Dhami hanya gurauan belaka. Sahabatnya itu memang kerap menyisakan satu batang rokok untuk disimpan atau sekadar diberikan pada temannya yang lain saat sedang menunggu orderan. Tetapi, akhir-akhir ini, Arman baru menyadari kalau ternyata ada makna mendalam dari ucapan Dhami itu.

Someday.Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora