One Side

3.7K 311 15
                                    

Jeonghan menatap kosong gedung di depannya. Aroma khas hujan masih sangat pekat. Genggaman pada kotak di saku coatnya kian kuat. Sudut bibirnya tertarik ke atas. Tinggal selangkah lagi.

Satu langkah itu ia habiskan. Suara decitan terdengar ketika pintu itu dibuka. Bibir tipisnya menampilkan senyum terbaik yang ia punya. Di sana, tepat di hadapannya berdiri pria dengan mata yang indah. Mata yang mampu membuatnya tenggelam.

“Hai” Sapa Jeonghan tak kalah cerah dengan senyumnya.

Saling berpelukan. Jeonghan menyadari aroma tubuh pria yang mendekapnya tak pernah berubah. Masih di posisi yang sama, sang pria berkali-kali mengucap rindu.

“Aku sangat merindukanmu.” Ucap si pria setelah dekapan itu terlepas. Kekehan kecil lolos dari bibir Jeonghan.

“Kau sudah mengucapkan itu berkali-kali Cheol-ah

Choi Seungcheol, atau pria yang dipanggil Cheol itu tersenyum. Ia tak berbohong. Setelah berpisah beberapa tahun, bagaimana mungkin ia tak merindukan pria cantik di depannya.

“Apa yang kau lakukan selama ini huh?”

“Aku perlu menata sesuatu Cheol-ah...”

“Apapun itu, kuharap kau tidak pergi dariku lagi.”

‘Aku tidak pernah terikat olehmu untuk apa aku pergi?’, seharusnya kalimat itu yang keluar dari mulut Jeonghan. Tapi ia hanya diam dan lagi-lagi tersenyum.

“Tapi aku bersyukur kau kembali untuk membantuku.”

Jeonghan menyerahkan kotak yang sedari tadi ia genggam. Mata pria di hadapannya tampak berbinar melihat benda mengkilap dalam kotak itu.

“Aku sangat gugup Jeonghan-ah..”

Relax saja, ok?”

“Kupikir aku perlu latihan terlebih dahulu. Kau berperan sebagai Jihoon, bagaimana?”

Jeonghan tertegun sesaat. Memerankan Jihoon? Apa dia harus melakukannya? Mungkin ia harus mencoba sebagai salah satu langkah dalam menata hatinya.

“Baiklah.”

Seungcheol tersenyum dengan jawaban Jeonghan. Ia mulai berlutut dan menggenggam jemari yang lebih kecil darinya. Helaan napas ia keluarkan.

“Jihoon-ah? Aku pikir hubungan kita sudah cukup untuk memulai sesuatu yang lebih serius. Maafkan aku yang tidak pernah berlaku romantis seperti pria di luar sana, tapi aku berjanji untuk selalu mencintai dan melindungimu. Apa kau bersedia hidup menua denganku?”

Jeonghan mengangguk kecil. Ia menahan napas ketika Seungcheol memasangkan cincin di jari manisnya. Mereka saling melempar senyum. Seungcheol kembali berdiri lalu memekik lega.

“Wahhh! Aku melakukannya! Apa kata-kataku tadi terlalu cheesy?”

“Tidak. Aku yakin Jihoon akan sangat tersentuh.” Jeonghan menjawab seraya melepas cincin tadi. Sekarang jarinya terasa kosong kembali.

“Apa kau akan melamarnya di depan abu orang tuamu?”

“Tentu saja. Aku sudah berjanji untuk melamar seseorang di depan orang tuaku sekalipun mereka telah tiada.”

“Tidak heran gedung tempat abu ini menjadi sepi karena ulahmu.”

Hening sejenak.

“Jeonghan-ah? Terimakasih telah mendesign cincin ini.”

“Eihh, bukankah kita berteman?” Jeonghan merutuki nada miris yang ia keluarkan.

Atensi mereka tertuju pada dering ponsel Seungcheol. Tanpa bertanya pun ia tahu siapa orang dibalik panggilan itu setelah melihat senyum sumringah pada wajah Seungcheol.

“Dia sudah di pintu masuk.”

“Baiklah. Aku akan pergi, segera hubungi aku kapan tanggalnya, ok?”

Jeonghan tidak benar-benar pergi. Ia menunggu dibalik pintu lain. Ia bisa melihat bagaimana bingungnya wajah Jihoon ketika menemui Seungcheol hingga wajah bahagia ketika cincin yang ia buat tersemat di jari manis pria yang lebih beruntung darinya itu.

Hatinya teriris menyaksikan pemandangan di sana. Tanpa terasa, air mata meluncur membasahi pipi pucatnya. Langkahnya ia seret meninggalkan tempat itu. Ia tak ingin hatinya yang telah sulit ia tata kembali hancur.

Ia berlalu sambil terus bergumam, ‘Setidaknya kita masih berteman bukan?’.


END

JEONGCHEOL'S STORIESWo Geschichten leben. Entdecke jetzt