Because of that...

1.6K 162 9
                                    

Puluhan langkah terdengar dari balik pintu kayu. Suara-suara pantofel menyentuh lantai menguar entah ke mana, bersamaan dengan benda persegi panjang dengan ukiran rumit itu terbuka.

Pria tambun dengan balutan jas putih mendekat, diikuti beberapa orang di belakangnya. Bergerak cepat, namun penuh kehati-hatian.

Benda empuk berpegas di sana berdecit nyaring kala pria itu duduk di atasnya. Mendaratkan stetoskop dingin pada tubuh bagian atas seorang pemuda yang terbaring di sana.

"Minum, Tuan Muda," tawar Dokter Kang, menarik benda itu kembali. Gelengan lemah ia dapatkan.

"Mingyu-ssi, bantu Tuan Muda untuk minum."

Menggeleng sekali lagi, mencoba menolak akan kebaikan dokter pribadinya. Jeonghan memohon lewat hazelnya pada pengawal bertubuh tinggi itu.

"A-Ak-ku t-ti-dak m-mau!"

"Anda harus, Tuan Muda," bisik Mingyu pelan. Ia telah menempati posisi Dokter Kang tadi.

Gelas keramik itu mendekat, hampir mencapai bibir Jeonghan. Menghitung dalam hati, mengumpulkan segala tenaga yang ia punya.

Satu

Dua

Prang!!!!

Tidak perlu sampai pada hitungan ketiga. Napas Jeonghan memburu, matanya memicing tajam.

"Tuan Muda!"

Sebagian sprei dijejaki noda merah pekat menyala, pun dengan lantai dan benda-benda berjarak pendek dari Jeonghan.

"K-kalian gila!" sentaknya kuat, membuat Mingyu dan orang-orang di sana sedikit menjauh, menundukkan kepala. "Pernah kalian lihat tubuhku membaik setelah meminum darah-darah itu?"

Entah mendapat kekuatan dari mana, tubuh ringkihnya bangkit, mengambil salah satu pecahan gelas di lantai.

Tidak ada yang berani bergerak. Ini di luar dugaan. Tuan muda yang beberapa jam lalu hilang kesadaran, kini tengah menyayat kulit lembutnya tanpa suara.

Tidak tahu darah siapa yang mengalir. Darah Jeonghan kah? Atau darah yang menempel pada pecahan gelas itu.

"Lihat! Kalian memberiku darah?! Aku memilikinya!"

"Tuan Muda..." cicit Dokter Kang, tak berani menatap langsung pada mata tajam Jeonghan walau di batasi sepasang lensa.

"Dokter bodoh! Kemana akal sehatmu?! Seharusnya kau membiarkanku mati daripada mengikuti perintah konyol Tuan Besarmu!"

"Tuan Muda, kumohon mengertilah. Kau satu-satunya yang Tuan Yoon punya. Ia melakukan ini untukmu. Untuk kebaikanmu. Dan juga..."

Jeonghan mengerang frustasi. Dokter Kang menggantung kalimatnya. "Dan juga?" tanyanya memancing.

"Dan juga untuk kebaikan kami. Seluruh pengawalmu, pekerja di rumah ini, bahkan diriku. Lihat apa yang terjadi pada Hansol-ssi? Itu karena ia membiarkanmu menolak untuk minum darah-darah itu."

Hansol. Pengawal sekaligus teman baiknya selama di mansion keluarga Yoon. Ia ditemukan tewas, malam hari setelah membantu Jeonghan membuang semua minuman wajibnya. Pelaku? Tentu saja pria tua dengan segala kekonyolan, yang sayangnya adalah Tuan Yoon. Walau tidak dengan tangannya sendiri, tapi perintahnya yang tidak mungkin dibantah.

Jeonghan terduduk lesu. Mingyu kembali mendekatinya. Takut-takut memberikan cairan kental itu lagi dalam gelas yang berbeda.

Ia tidak menolak. Dengan penuh keengganan, bibir pucatnya mulai sedikit berwarna walau hanya berupa bercak-bercak kemerahan.

.

Jeonghan mendengus kasar. Ia kembali pada posisi itu.

Setelah kejadian di lapangan golf siang tadi, pria pucat itu mendapati diri telah bebaring di kasurnya.

"Saya permisi, Tuan Muda," seorang maid beranjak pergi setelah membersihkan gelas bekas minuman Jeonghan., diikuti beberapa pengawal yang ikut membantu.

"Aku ingin sendiri," memejamkan mata, mencoba menghilangkan rasa anyir yang masih membekas.

"Maaf, Tuan Muda. Saya ditugaskan untuk berjaga di sini," menunduk sopan, satu-satunya pengawal di sana tetap berdiri mempertahankan posisinya.

Jeonghan sungguh ingin berteriak, namun urung. Pusing di kepalanya masih sangat nyata. Ia tidak mau menambah sakit itu dengan membentak pria berjas hitam di sudut kasurnya.

"Saya punya air mineral, jika Anda mau."

Jeonghan mengendurkan sedikit pijatan di dahinya. Ia terkekeh samar. "Apa kau selalu membawanya kemana pun?" sarkasnya.

"Ya, saya membawanya sejak mengawal Anda."

"...Saya tidak akan mati hanya karena memberi Anda air mineral. Saya juga tidak akan mati seperti Hansol yang membantu Anda untuk memusnahkan cairan merah kental itu."

Jeonghan tertegun sesaat. "Bagaimana kau tahu? Bukankah kau pengawal baru?"

"Choi Hansol, Choi Seungcheol. Kami memiliki marga dari ayah yang sama."

"Dia adikmu?!" Senyum tipis menyambut keterkejutan Jeonghan. "Kau ke sini untuk balas dendam atas kematiannya? Silahkan, aku siap."

Seungcheol menampilkan senyumannya lagi. "Tidak," jawabanya sembari memangkas jarak dengan Jeonghan. Memberikan air mineral kemasan yang entah di simpannnya di mana.

Alih-alih ragu, Jeonghan menerima lalu meneguknya hingga kandas. Rasa anyir itu menghilang.

"Terima kasih sudah memberi kepercayaan kepada adik saya."

"Aku membuatnya mati. Seharusnya kau membunuhku."

Bibir Jeonghan melengkung ke atas walau tak mencapai mata. Irisnya menerawang jauh pada kesetiaan Hansol yang selalu menemaninya.

"Setiap orang akan mati, waktunya saja yang berbeda."

Mereka membiarkan hening menguar di sana. Menarik diri ke dalam pemikiran masing-masing. Fokus kedua pasang iris itu lurus menembus kaca jendela.

"Aku memilih kehausan bukan karena takut akan diracuni. Itu malah membuatku senang jika terjadi." Sengcheol memalingkan wajahnya. Mulai menatap pada pria yang masih memandang langit di luar. "Aku bukan vampir atau sejenisnya hingga diberi segelas penuh darah setiap saat."

Kembali hening. Seungcheol masih menerka apa lagi yang akan dikatakan majikannya itu.

"Aku seperti monster. Bukankah minumanku sangat spesial?" kekehan Jeonghan menggema. "Anda bisa mempercayai saya. Hanya air, bukan darah. Mintalah jika Anda memerlukannya," ucap Seungcheol meyakinkan.

Suara dari alat komunikasi jarak jauh di telinganya menginterupsi mereka sesaat, walau hanya pria bertubuh tegap itu yang mendengarnya.

"Waktunya pengawal Wen yang berjaga di sini. Saya undur diri," membungkukkan tubuh lalu berbalik. Pengawal baru itu berlalu tanpa mengetahui manik Jeonghan yang terus mengikutinya.

"Anda bisa mempercayakan saya. Saya tidak akan berakhir di tangan siapa pun," Seungcheol meyakinkan sekali lagi. Sisi kanan wajahnya terlihat. Ia menoleh sesaat sebelum hilang di balik pintu.

End.

JEONGCHEOL'S STORIESWhere stories live. Discover now