06 ; Believe

330 47 5
                                    

Kamu bisa cerita sama aku kalo kamu ada masalah. Aku siap buat jadi tempat curhat kamu.

🌙️

Setelah kejadian di pasar malam itu mereka semakin dekat. Bahkan sekarang Irene sering diantar jemput oleh Mino. Irene sama sekali tak memperdulikan tentang Valdi, yang penting dirinya nyaman berada di dekat Mino

Mino menyodorkan helmnya saat Irene baru saja sampai di samping motornya.

Irene tersenyum manis membuat Mino ikut menyunggingkan senyum.
“Aduh kok nggak bisa ya?” Gumam Irene lirih yang masih mencoba mengaitkan pengait helm.

Mino yang peka mengambil alih, mengaitkan helm Irene dengan lembut. Irene menatap Mino tanpa kedip, terpaku karena jarak mereka sangat dekat.

Irene bahkan tanpa sadar masih menatap Mino saat Mino sudah selesai memasang pengaitnya dengan benar.

Mino terkekeh pelan melihat Irene yang melamun. “Gue tau gue ganteng Rene, jangan gitu lah liatinnya.” Mino men-nyugar rambutnya sambil berkedip ke arah Irene.

Irene mengerjap beberapa kali tersadar dia bertindak bodoh didepan Mino. Irene menggaruk tengkuknya salah tingkah. Jantungnya juga sudah berdebar kencang sedari tadi.

“Tuh sampe ngiler.” Lagi lagi Mino terkekeh seraya menujuk sudut bibir Irene dengan jari telunjuknya.

Irene refleks memegang sudut bibirnya dengan kaget. Lalu segera mencubit pinggang Mino dengan keras saat sadar dirinya di kerjai.

“Sialan, lo ngerjain gue?” Irene mendelik tak suka dan masih mencubit pinggang Mino garang.

Mino masih terkekeh, bahkan semakin kencang tertawanya membuat Irene semakin gemas ingin menimpuk dengan sepatunya.
“Ampun Rene, udah dongggg. Hahaha.”

“Biarin. Biar mampus sekalian!”

Mereka bahkan tidak sadar sudah menjadi tontonan murid sekolah Irene. Tapi apa peduli mereka? Bahkan Irene dan Mino sudah berlalu meninggalkan area sekolah Irene.

Mata cowok itu masih menatap nyalang Mino saat sejak pertama melihat Irene bersamanya.

Tangan cowok itu mengepal hingga buku jarinya memutih. “Lihat aja nanti.” Katanya dengan menyeringai seram lalu pergi.

🌙️

“Rene, lo nggak latihan basket ya akhir-akhir ini?”

Irene berhenti memakan es krim ditangannya saat Mino bertanya tiba-tiba. Tadi saat mereka dijalan Irene meminta Mino untuk berhenti di kedai es krim, Mino menurut saja. Lagipula dia ingin menghabiskan waktu berdua dengan Irene kan? Hitung-hitung buat modus.

Irene mengangkat bahu tanda tidak tahu. “Entah.” Jedanya yang lalu mengaduk es krimnya malas. “Tapi kata Pak Jaebum lombanya diundur bulan depan.”

Pak Jaebum adalah guru olahraga disekolah Irene.

Mino mengangguk mengerti, lalu menatap Irene yang tampak lesu. “Kenapa lo? Bukannya seneng yah tiap hari nggak usah latihan keras gitu?” Mino memakan es krim vanillanya dan masih menatap Irene.

“Lo tau? Basket itu udah kayak bagian dari hidup gue. Gue nggak bisa jauh-jauh dari basket tau.”Irene cemberut.

Mino terkekeh melihat ekspresi mengemaskan Irene. “Yaudah tiap akhir pekan gue jemput lo buat main basket di rumah gue deh.”

Tiba-tiba mata Irene berbinar senang, kepalanya mengangguk semangat seperti orang yang kehadiahan mobil paling mahal. “Oke deh. Tapi janji ya?” Irene mengangkat kelingkingnya menyodorkannya pada Mino.

Mino mengaitkan kelingking mereka dengan menyunggingkan senyum lebar. “Janji.”

🌙️

Sesuai kesepakatan kemarin, Mino membawa Irene ke rumahnya untuk bermain basket bersama. Saat pertama kali Irene masuk kerumah besar Mino rasanya sepi. Irene hendak bertanya tapi diurungkan saat suara milik wanita paruh baya yang memakai celemek menyambutnya dengan senyum lebar. Mungkin wanita itu pembantu rumah tangga Mino.

Saha eta den? Kabogoh, Nya?”  Tanya Bi Inem dengan logat sundanya sambil menatap Irene yang kikuk.

Mino tertawa kecil, merangkul Bi Inem dengan sayang dilihat dari cara menatapnya. “Ih si Bibi teh sok tahu. Dia temen saya, Bi.”

Irene hanya tersenyum tipis saat Bi Inem tertawa dengan menepuk pundaknya. “Geulis pisan euy.

Setelah perbincangan yang didominasi oleh Bi Inem akhirnya Mino mengajak Irene ke taman belakang.

“Jangan kaget sama si Bibi, orangnya emang gitu, Rene.”  Kata Mino seraya membuka pintu yang menghubungkan dapur dengan taman belakang.

Irene memejamkan matanya sejenak menikmati angin yang berhembus menerpa pipinya. “Nggak papa.” Lalu mata Irene menatap keselilingnya dengan berbinar.

“Sejuk ya disini.”

Mino mengangguk setuju, lalu menepuk kursi disampingnya menyuruh Irene duduk. Irene menurut, menyelipkan beberapa anak rambut ke telinganya.

Seakan ingat sesuatu, Irene menatap Mino yang menatap kedepan dengan mata terpejam. “Oh ya? Orang tua lo dimana?”

Mino sontak membuka matanya lalu tersenyum miris. Entah kenapa dia ingin Irene mengetahui tentang kehidupannya. Mino menghela napas pelan kemudian menunduk.

“Orang tua gue cerai.”

Singkat namun mampu membuat Irene tersentak. Dia merasa tak enak sudah membuka luka lama Mino. “No,” Irene memegang bahu Mino.  “Maaf gue gak mak—”

Ucapan Irene terpotong begitu saja saat Mino tiba-tiba bercerita. “It's okay.”  Mino mengambil napas sejenak sebelum melanjutkan.

“Waktu itu gue kelas 7 SMP. Gue sering banget denger orangtua gue berantem. Dan karena itu juga gue jadi pembangkang kayak sekarang.” Mino tertawa miris mengingat hal itu.

Irene mengelus bahu Mino lembut. Mendengarkan adalah salah satu cara mengetahui kehidupan Mino. “Dan lo tau?”  Mino lagi lagi melanjutkan ceritanya kali ini menatap Irene yang ada disampingnya.

“Gue punya pacar waktu itu. Tapi saat gue lagi butuh dia, dia malah ngilang gitu aja. Gue marah. Akhirnya gue sama dia berantem bikin beban gue nambah lagi.

Seminggu setelahnya orang tua gue beneran cerai. Hak asuh gue di papa gue, semenjak itu papa jadi jarang pulang ke rumah sedangkan mama entah kemana gue nggak tau. Yang jelas gue sedih banget saat itu.” Mino menunduk menahan air matanya yang siap turun.

“Nangis aja kalo lo mau.” Lalu setelahnya dengan cepat Mino memeluk Irene dengan erat membuat Irene terpekik tapi setelahnya membalas pelukan Mino dengan ragu. Jantung Irene seakan mau loncat keluar karena Mino sangat dekat dengannya juga wangi tubuh Mino  yang membuatnya nyaman.

Hampir 5 menit posisi mereka berpelukan, Mino yang menangis juga membuat Irene ikut menangis. Seakan teringat sesuatu Irene bertanya dengan nada pelan. “Terus waktu itu lo gimana sama pacar lo?”

Mino melepaskan pelukannya, lalu memandang langit sore dengan wajah memerah akibat menangis tadi.

“Gue belum baik sama dia waktu itu. Tapi perlahan gue sadar kalo seharusnya gue nggak kayak gitu ke dia karna gue sayang sama dia.”

Entah kenapa jawaban Mino membuat Irene merasa tidak suka dan muncul perasaan aneh yang membuatnya gelisah.

🌙️

share ke temen temen kalian dong ceritanya, kalo kalian suka😋😋
vote/komennya ya❤

SEUL AMI ¦ MINRENE✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang