bab 9. Mengalah, bukan Kalah

60 10 2
                                    

"Ayah, ibu kemana?" Tanya Arin saat sampai pada anak tangga terakhir paling bawah.

"Baru aja pergi katanya ke toko terus mau ketemu sama Pak Murez untuk pilih kain gordyn. Adek mau kemana?" Tanya Ayah saat melihat Arin sudah berpakaian rapi sambil memegang topi biru langitnya.

"Aku izin ke lodaya ya yah, mau nonton tanding softball sekolah."

"Naik apa?" Tanya ayah untuk memastikan.

"Go-jek yah, bayarnya dua puluh ribu."

Ayah memberikan dua lembar uang dua puluh ribu rupiah. "Ini, hati-hati. Kamera jangan sembarangan simpennya."

"Iya ayah, makasih. Assalamualaikum," pamit Arin sambil mencium tangan ayah.

"Waalaikumsalam."

Arin menunggu supir yang menjemputnya di teras rumah ditemani kiding yang sedang duduk manis di sebelah kaki kanannya.

"Mau kemana dek?" Tanya Dyo yang datang dari dalam garasi sambil mengenakan sarung tinju di kedua tangannya.

"Lodaya."

"Sampai jam berapa? Perlu di jemput gak?" Tawar Dyo.

"Gimana nanti aja, mang go-jek nya udah dateng. Dadah abang," kata Arin sambil melambaikan tangan kanannya dan di balas hal serupa oleh Dyo.

***

Kali ini Arin memilih untuk duduk di tribun. Tidak seperti biasanya yang duduk di tempat tim sekolahnya berada, tempat yang digunakan tim untuk menyimpan barang mereka dan sebagainya.

Tribun belum terlalu penuh, Arin memilih trap ke-2 dengan posisi di tengah. Sebenarnya, Arin tidak terlalu terbiasa duduk disini dengan penonton sebanyak ini. Ia tak memilih di trap ke-1 kadang Arin kaget kalau ada bola lolos dan menabrak ke jaring rasanya seperti akan mengenai mukanya.

Reza yang sudah menggunakan baju kebesaran tim softball sekolahnya ini pun nampak gagah. Menghampiri seorang perempuan tepat di depan Arin. Oh bukan, maksudnya di bawah Arin tapi tepat pada pandangan lurus mata Arin.

"Hai! Maaf ya tadi gue gak bisa jemput," ucap Reza yang masih berdiri ditempat yang sama. Sangat terlihat oleh Arin.

Hm... tempat yang cukup strategis untuk melihat dua ABG yang hatinya sedang berbunga ini.

"Duduk di sana aja yuk!" Reza mengajak Alesya untuk duduk di daerah tim sekolahnya. Tempat khusus anggota tim. Tempat yang biasanya Arin gunakan untuk menunggu Reza latihan atau menonton pertandingan. Bukan tribun umum seperti sekarang ini.

Tidak seorang pun diantara Reza atau Alesya yang menyadari bahwa keduanya sedang ditatap oleh sepasang mata setajam silet. Oh ayolah... mengapa Arin harus memberikan pandangan mengerikannya itu?

Dear author, jangan menjadikan aku tokoh antagonis, layaknya hewan buas siap menerkam mangsa. Mataku memang seperti ini bahkan saat memandang perut kotak Shawn Mendes sekalipun -Arindya Taurusa, 16 menuju 17 tahun.

"Eh, si Arin gak kesini? Dia tau gak kita tanding jam segini?" Tanya Deri kepada beberapa temannya yang sedang mengobrol. Ada Gio dan Reza diantaranya.

"Kemarin sih gue udah bilang pas dia kesini," jawab Gio, dan Reza yang hanya diam sebagai pendengar.

"Gak asik kalo dia gak dateng. Nanti gak ada yang memotret ketampanan gue waktu jadi pemukul." Keluh Ardan, salah satu anggota tim yang memiliki ketampanan tersendiri dan sering menjadi objek foto Arin.

ArRezaWhere stories live. Discover now