Bab 16. Kenangan yang Membekas

82 8 2
                                    

Jangan meninggalkan jejak yang menyakitkan kalau tidak ingin diingat terus. Karena sejatinya manusia akan lebih mengingat kesakitannya daripada hal baik lainnya. -Arindya Taurus.

***

"Ih ngeselin!" Andara yang baru saja datang langsung marah-marah tak jelas.

"Kenapa sih Nder, udah meri-meri aja," Arin yang merasa ada kerusuhan di sekitarnya langsung terbangun dari tidurnya.

Mau datang sesiang bahkan sepagi apapun Arin pasti tertidur dikelas. Banyak alasan, karena memang tidak bisa menahan kantuk, atau karena hanya tidurlah kerjaan yang menurut Arin paling ber-faedah di kelas. Arin si sleeping enggak beauty.

"Tau ah, kesel."

"Tumben telat datengnya, mau ngikutin jejak gue?" Goda Rachel di waktu yang tidak tepat.

"Si Dira tuh! Nyebelin banget! Lo semua harus tau!" Nadira, adik Andara yang cukup sering kakaknya ceritakan kepada dua sahabatnya ini.

"Kenapa lagi sih?" Arin bertanya seolah hal seperti ini sudah sering terjadi. Tapi yang memang nyatanya sering terjadi sih.

"Gara-gara dia gue jadi telat! Anjir sumpah itu anak ngeselin banget! Lelet parah! Masa dia udah telat bangun, nonton kartun dulu makannya lama! Gue udah siap berangkat dia belum di sepatu sialan gak tuh anak!" Andara meluapkan kekesalannya mencaci maki adiknya.

"Udah lah Dar, itukan adik lo juga. Lo kasih tau lah baik-baik kalau lo telat nanti di hukum blablabla," Rachel berusaha meredamkan amarah Andara.

"Dia tuh gak bisa dikasih tau kaya gitu! Harus di kasarin dulu! Adik lo juga gitu kan Chel," Andara masih menggebu-gebu. "Semua adik di dunia ini tuh terlahir untuk menjadi menyebalkan. Untung dia lahir jadi adik."

"Eh..eh..eh ngomongnya suka sembarangan. Disini adik juga tertindas karena semua kakak apalagi cewe terlahir kaya lo bentukannya," bela Arin yang terlahir dengan kodrat menjadi seorang adik.

"Tapi adik gue beda Rin, gak kaya lo," balas Andara.

"Gak Nder, semua adik sama. Sama-sama terlahir menjadi adik yang pasti punya kakak sebagai panutan dia karena merasa kakak adalah orang yang adiknya tuakan. Semua ini hanya masalah kedewasaan kita masing-masing. Adik lo masih kecil dan emosi lo masih anak SMA yang gak boleh lo pungkiri kalo emosi lo masih belum stabil." Jelas Arin setelah Andara mulai tenang.

"Kalian semua pasti tau cerita gue dari dulu sama kakak gimana. Beda dengan abang, yang jelas gender pun pengaruh. Kalian gak pernah liat gue sama kakak secara real kalo ada masalah dari kecil kaya gimana. Kalian cuma tau cerita aja. Kalian cuma tau kakak dari luarnya dengan paras yang jauh lebih cantik dari gue yang selalu kalian dan semua orang ulang-ulang itu sampai gue bosen dengernya."

Ya memang, semua teman Arin yang melihat Anindya untuk pertama kalinya akan terhipnotis dengan kecantikannya. Kulit putih bersih seperti susu mirip dengan iklan di tv, badan langsing tinggi semampai seperti para model. Dan setelah mereka yang melihatnya akan langsung membandingkannya dengan Arin dan itu hal yang paling Arin benci. Rasanya Arin ingin memusnahkan mereka semua yang sudah membandinginya. Arin serius.

"Lo cuma harus nunggu kalian sama- dewasa. Seenggaknya sama-sama sudah besar dan gak kaya anak-anak lagi contohnya kaya lo sekarang yang udah bisa bedain mana baju anak-anak dan mana baju yang cocok buat seumuran lo."

"Gak nyambung," celetuk Andara.

"Itu perumpamaan anjir."

"Gue tau, lo sebagai kakak pasti pernah ngeluh karena selalu jadi kambing hitam setiap adiknya nangis. Kalo lo terima dan jalanin hidup bareng adik lo dengan ikhlas lo bisa gak kaya gitu. Gue tau lo pasti ngeluh adik lebih di sayang. Itu semua yang diliat sama mata lo. Tanpa lo tahu yang gak lo lihat." Andara masih terus memberi Andara pengertian.

ArRezaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant