F

12K 724 10
                                    

Hari berganti tapi hubungannya dengan Zaka masih dingin saja. Zaka memang selalu menyapanya namun hanya di tanggapi angin lalu oleh Distria. Sejujurnya dia juga tak tau apa yang sedang terjadi padanya hingga dia bisa mengacuhkan Zaka. Bahkan Zaka juga sering menawarinya pulang bersama, tapi Distria kadang menolaknya. Rasanya tetap berbeda saat berduaan dengan Zaka sekarang. Menurut Distria, pria itu lebih banyak diam seperti memikirkan sesuatu yang berkecamuk dikepalanya. Jika Distria betanya kenapa pasti Zaka akan menggeleng. Zaka yang dingin begitu juga dengan Distria.

Ini masih pukul tiga sore tapi mamanya sudah menelfon, sebenarnya ia ingin tidak menjawabnya saja. Tapi karna ternyata sudah banyak panggilan tak terjawab dari mamanya, ia takut kalau itu hal yang penting.

"Assalamualaikum,Ma?"

"Walaikumsalam.Kamu kemana aja sih Dis, mama bingung juga"

"Kenapa Ma? Kok mama kayak panik gitu?" Distriapun mulai khwatir dengan suara mamanya yang terdsngar panik itu.

"Kamu ke rumah sakit sekarang ya, ayahmu masuk opname"

Sontak hal itu membuat Distria terkejut bukan main. Tadi pagi ayahnya masih terlihat sehat, bahkan kedua orangtuanya baru pulang dari Singapur kemarin.
"Ayah nggak papa kan Ma?"

"Sekarang udah nggak papa, udah kamu cepet kesini. Mama sendirian"

"Oke aku minta ijin dulu Ma, Assalamuaalaikum"

"Walaikumsalam"

Setelah mematikan telfon dari mamanya Distria mulai bergegas meminta ijin pulang lebih dulu lalu menyambar tasnya, saat itu juga ia berpapasan dengan Zaka.

"Mau kemana Dis?"

"Ayah masuk rumah sakit, aku mau kesana" Distria menjawabnya dengan buru buru bahkan Zaka berinisiatif untuk mengantarnya tapi ia menolak dan lebih memilih menggunakan grab.

Setelah bertanya pada resepsionis dimana ruang inap ayahnya, Distria bergegas masuk kamar itu. Disana sudah ada ayahnya yang sedang tertidur, nampak sekali kalau sang ayah terlihat pucat. Ada mamanya dan juga Mbak Idris yang duduk di sofa. Distriapun menyalami keduanya.

"Ayah kenapa sih Ma?"

"Katanya kecapekan, tensinya juga rendah. Tadi siang ayahmu pulang terus ngeluh kalau pusing" papar sang mama.

"Ini pasti gara gara liburan ke Singapur kan, kalian nekat sih"

Mamanya hanya mencibir mendengar dengusan sang anak. "Abang kemana Mbak?"

"Balik ke kantor lagi setelah ngater aku kesini" tunangan kakaknya itu terlihat sangat anggun dengan hijabnya dan tutur katanya yang lembut, pantas saja mamanya juga sangat membandingkan dia dengan calon mantunya itu.

"Oh ya Dis, ternyata temen kamu ada yang kerja disini ya? Tadi yang ngurusin ayahmu dia lo" Distria mengernyit mendengar penuturan mamanya, temannya yang mana kira kira. Belum sempat ia bertanya siapa, pintu kamar inap ayahnya terbuka.

"Nah ini pak dokter yang dibicarain dateng"

Sontak Distria segera menoleh ke arah yang baru datang itu. Pria itu tampak lebih berwibawa di bandingkan saat bersama teman temannya.

"Sore Tante, Mbak" lalu pandangan Evan beralih ke Distria yang tampak membuang muka.
"Hai Dis" sapanya yang tidak ditanggapi si pemilik nama hingga Distria merasakan lengannya di cubit oleh mamanya.

"Om sudah mulai stabil Tan, tapi biarin istirahat dulu. Mungkin besok atau lusa sudah bisa pulang"

"Makasih ya Dokter, tuh Dis ada temannya juga cemberut terus" Distria hanya memutar bola matanya sedangakan Evan menatapnya lekat.

"Nggak papa, kalau begitu saya permisi dulu. Selamat sore semuanya" Evan keluar dari ruangan itu bersama perawat yang membantunya.

Mama Distria mulai mengomelinya yang acuh kepada teman lamanya itu. Ia heran kenapa mamanya masih ingat saja dengan Evan. Bahkan sekarang mamanya lebih mirip sebagai idola Evan dari caranya memuji pria itu yang banyak berubah. Tak hanya mamanya, bahkan calon kakak iparnya juga ikut memuji sang dokter yang katanya tampan itu.

***

"Kamu pulang dulu sana Dis, besok kamu kerja" ucap mama sambil mengelus rambut Distria yang bersandar di bahunya. Mereka memang hanya tinggal berdua, sejam yang lalu kakaknya kesini untuk menjemput Mbak Idris dan mengantarnya pulang.

"Nanti mama sendiri dong" gumam Distria dengan mata terpejam.

Menghela nafas, mamanya mulai menegakkan tubuh putrinya, "Abang kamu juga mau kesini. Udah sana kamu capek nanti"

Akhirnya Distria memilih menuruti perintah mamanya untuk pulang lebih dulu. Setelah berpamitan lalu bersamalan dengan ayah dan mamanya ia mulai berjalan keluar. Baru saja ia melangkah setelah menutup pintu, tangannya terasa dicekal hingga ia berhenti berjalan. Tanpa menengokpun ia tau siapa pemilik lengan kokoh ini.

"Dis, dengerin gue"

Distria masih berusaha melepas cekalan tangannya, "Lepasin, malu di liatin orang"

"Kalo gitu lo ikut gue"

"Nggak" potongnya dengan cepat saat Evan mulai berjalan sambil mesih menggenggam tangannya dengan erat.

"Gue cuma mau minta maaf terus baikan sama elo Dis" bisik Evan setelah mereka sampai di koridor rumah sakit, tempat yang lebih sepi.

Distria tertawa mengejek, "Lo tuh nggak tau apa artinya kata maaf, ratusan kali lo bilang itu tapi lo tetep jahilin gue dulu. Dan nyatanya waktu nggak ngubah lo sama sekali. Oke gue akui kalo gue suka sama sifat lo yang humoris itu, tapi lo nggak bisa seenaknya sama gue Van"

Evan menatap matanya dengan lembut seolah ia menikmati pemandangan di depannya ini, "Makanya gue mau minta maaf Dis, buat yang dulu maupun sekarang"

"Oke gue maafin lo, tapi jangan ganggu gue lagi" Dengan usaha sekuat tenanga akhirnya ia bisa melepaskan cekalan tangan Evan lalu berjalan menjauhi Evan. Baru beberapa langkah ia pun berbalik mengahadap temannya itu.
"Bukan berarti kita pernah deket, bikin lo ngerasa hak yang berbeda dari temen kita yang lain"

Selepasnya ia benar benar meninggalkan Evan yang sedang memandangi wanita yang selalu membuatnya tertawa itu. Evan suka mengejek,meledek dan menjahili temannya itu. Lama tak bertemu ternyata Distria masih se menggemaskan dulu. Ia hanya berkata lirih sambil terus mengamati tubuh wanita itu semakin menjauh.
"Lo nggak pernah lihat sisi lain gue Dis"

***

Sisi lain yg mana nih Pak Dokter? Hahaha

See U,

Keping RasaDove le storie prendono vita. Scoprilo ora