H

12.5K 675 7
                                    

Evan menuntunnya masuk kedalam mobil tanpa berkata apa apa. Entah bagaimana ceritanya ia bisa bertemu dengan wanita ini di kafe itu. Ia baru saja akan duduk saat melihat Distri meronta ingin dilepaskan tangannya dari seorang pria, yang Evan tau itu adalah kekasih Distria. Tanpa pikir panjang ia segera menghampiri gadis itu lalu merangkul pundaknya dan menggiringnya keluar dari kafe. Yang ia tau pasti, gadis itu sedang dalam tidak baik baik saja. Ia juga tak banyak bicara sepanjang perjalanan mengantarkan Distria pulang. Gadis itu menatap jalanan dengan pandangan kosong dan Evan tak ingin mengusiknya lebih dulu. Hening. Bahkan sampai mereka sampai di rumah.

Evan memandangnya yang tampak tak ingin turun dari sini, perlahan mengusap lengannya. "Dis.."

Sebulir bening turun dari kelopak mata Distria, walaupun ia berusaha agar tak menjatuhkannya di depan Evan. Namun Evan malah menarik kepalanya untuk didekap di dadanya yang bidang hingga membuat Distria lebih tersedu.

"Gue nggak tau gue ini kenapa Van. Apa gue emang nggak cantik dan nggak anggun"

Perlahan Evan mulai mengusap kepala yang bersandar didadanya, bahkan ia mulai merasakan kalau kemejanya mulai basah karna air mata gadis itu, "Anggun kok, lo nggak lupa kan kalo nama lo Distria Anggun?"

Mendengar hal itu di saat seperti ini membuat Distria memukul perut Evan yang ternyata liat dan keras itu, "Lo nyebelin" isaknya.

"Tapi gue nggak sebrengsek cowok lo Dis" bisik Evan tepat di telinganya hingga membuatnya bergidik.

"Udah mantan Van" Distria masih sesenggukan di dada Evan, namun entah bagaimana tangannya juga ikut melingkar di pinggang Evan.

Evan tersenyum lalu menumpukan dagunya diatas kepala Distria, "Bagus dong, gue bisa maju"

Distria berdecak dan bermaksud menjauhkan diri dari tubuh tegap Evan, namun Evan malah menariknya cukup kencang hingga kepalanya membentur dada Evan, "Aduh, lepasin dong Van. Lo cari kesempatan deh,nyebelin"

Sementara Evan terkekeh mendengar gerutuannya, "Lo jalani sama gue aja Dis"

"Lo nggak perlu jawab, lo hanya perlu menjalani. Dan gue bakal tetep nglakuin ini meskipun lo nggak setuju" tambah Evan sebelum Distria menjawab pertanyaannya. Distriapun berdecak mendengarnya, bagaimana bisa disaat ia patah hati seperti ini ia malah bersama dengan curut gila yang sekarang memeluknya ini. Tapi dari dasar hatinya, ia cukup bersyukur karna setidaknya ia bisa membagi kesedihan malam ini. Bahkan guyonan receh Evan juga membuatnya sedikit lega.

***

Sebenarnya Distria bingung untuk memutuskan bekerja atau tidak meskipun hari ini hari Minggu. Pasalnya jika ia besuk harus masuk kerja, itu berarti ia harus melihat muka Zaka itu. Beginilah susahnya punya pasangan satu kantor, jika sudah putus pasti seperti ini. Tapi jika memutuskan untuk re-sign, ia terlihat seperti cinta mati saja dengan Zaka. Ya walaupun kenyataannya ia memang cinta dengan Zaka.

"Lo kenapa?" Ia terkejut dengan bentakan dari Putra yang tiba tiba masuk ke kamarnya.

"Kenapa gimana sih Bang?"

Putra mencoba memejamkan matanya agar bisa mengontrol emosi depan adik satu satunya itu, "Zaka nyakitin lo?"

Distria berhenti dari pergerakannya, bagaimana abangnya bisa tau soal ini, "Kita udah putus Bang"

"Bangsat emang tuh anak! Liat mata lo bengkak kayak gitu. Awas aja tuh anak"

Putra beranjak namun tangannya ditahan oleh sang adik, "Jangan nyamperin dia Bang, nggak papa kok"

"Dia nyakitin lo Dis! Dan gue yakin masalahnya bukan main main. Iyakan?"

Distria mengangguk membenarkan ucapan kakaknya,"Dia nidurin temennya waktu mabuk"

"Bangsat!" Putra berbalik lalu mengusap rambut adiknya yang sedang patah hati ini, "Lo udah bener kok putus dari dia Dis"

"Makasih ya Bang udah peduli" desisnya sambil mengusap air mata yang dengan tak tau malunya muncul lagi disaat seperti ini.

***

Dengan penuh perhitungan akhirnya Distria memilih masuk ke kantor hari ini. Tak peduli jika tempat inilah yang mempertemukannya dengan Zaka dan tempat ini pula yang jadi saksi bagaimana keduanya melewati hari bersama. Tapi setidaknya ia merasa bersyukur jika harus putus sekarang, ia tak membayangkan jika ini terjadi sedangkan ia sudah menikah nanti. Jangan sampai.

Tanpa sengaja ia berpapasan dengan Zaka yang nampak tersenyum kecut kepadanya. Ia melihat ada yang berbeda dari muka mantan kekasihnya itu. Sudut bibirnya tampak memar dan matanya terlihat sayu. Apa mungkin ini ulah kakaknya?

"Keluar yuk ntar malem Dis" bisik Cici dari balik kubikelnya.

"Kemana? Mentang mentang tanggal muda" cibirnya sembari fokus dengan komputer yang menampilkan program exel.

"Kemana gitu kek, kita disko gitu"

Ia segera mendelik kearah Cici yang nyengir lebar "Enak aja, gue anti tempat kayak gituan ya"

Meskipun banyak tempat untuk melepas penat dikotanya, tapi Distria sangat tak suka jika harus masuk ke tempat seperti itu. "Gue juga becanda kali Dis, makan apa gitu kek. Lama lo kita nggak nongki berdua"

"Ck. Iya iya. Udah sana kerja dulu ish"

EvanMuhammad : Hei kutilang darat, jangan lupa makan biar nggak tambah kerempeng.

DistriaAnggun : Babi lo kampret,jangan ganggu gue lagi sibuk!!!

EvanMuhammad : Miss you :*

"Ih najis anjir geli gue bacanya" gumamnya tanpa menanggapi pesan dari Evan lebih lanjut. Evan memang sering menghubunginya baik untuk basa basi atau untuk meledeknya, tapi diakuinya jika hal itu mampu membuatnya tertawa sendirian.

Seperti tadi, Distria dan Cici sudah berada di salah satu kedai yang menjual sejenis ketan dan roti bakar. Mereka merasa seperti muda lagi karna tempat ini di dominasi oleh muda mudi. Ya, meskipun umurnya sudah masuk dua puluh enam tahun sekarng.

"Lo kapan nikah Dis?"

"Nikah sama siapa coba" balas Distria sekenanya.

"Ya sama Zaka lah, masak sama Pak Boti" ia tergelak mendengar nama Pak Boti disebut, beliau adalah salah satu satpam dikantornya bekerja.

"Gue udah enggak sama Zaka kali Ci, udah putus gue"

Mendengar itu Cici langsung membelalak tak percaya, "Seriusan lo Dis? Kok bisa"

"Iya serius. Ada masalah yang nggak terselesaikan sih intinya"

"Yah, gue kira lo bakal nikahnya sama Zaka lo Dis" ucapan Cici membuatnya tersenyum kecut sambil membatin 'gue kira juga gitu Ci'

Tapi nyatanya sebesar apapun manusia berharap, hasilnya bukan ia yang menetapkan. Manusia hanya bisa berusaha berdoa dan menjalani. Kalaupun itu bukan yang terbaik untuknya, maka ia hanya perlu menjalani dengan lapang dada. Seperti Distria, ia akan berusaha untuk mengihklaskan apa yang bukan terbaik untuknya. Zaka misalnya.

***

See U,

Keping RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang