S

11.9K 628 2
                                    

Distria terbangun dengan kepalanya yang terasa berat dan pusing. Matanya tampak sulit untuk dibuka. Akibat dari menangis semalaman ditambah ia yang hanya tidur beberapa jam saja. Ia duduk diatas kasur dan melihat keadaan kamarnya yang berantakan itu. Hatinya bak tersayat mengingat apa yang terjadi diantaranya dan Evan semalam. Pecahan kaca masih berserakan. Ia memutuskan untuk mengambil libur saja hari ini, tidak mungkin dalam keadaannya yang sangat buruk ia berangkat ke kantor.

Distria melangkah hati hati menghindari pecahan kaca lalu keluar dari rumahnya yang nampak sepi. Ia tak tau kemana perginya Evan semalam setelah keluar begitu saja, tapi ia yakin jika Evan tak keluar rumah karna ia tak mendengar bunyi mobil ataupun motor sekalipun semalam. Mungkin saja Evan tidur di kamar sebelah? Distria membuka kamar disampingnya yang terlihat sedikit berantakan dari sebelumnya, jadi bisa di pastikan jika semalam Evan tidur di kamar ini. Ia mengintip ke arah garasi yang sudah tiada mobil disana, mungkin saja Evan berangkat pagi pagi karena tak mau bertemu dengannya kan?

Ia mengambil perlengkapan untuk membersihkan kekacauan di kamarnya. Sekuat ia membendung air matanya agar tak lagi tumpah, tetap saja air mata itu mengalir. Ia membuat Evan benar benar marah semalam. Baru kali ini ia melihat Evan marah, terlebih lagi padanya. Memang benar kata orang, marahnya orang humoris itu lebih berbahaya. Distria mencoba mengusap air matanya yang tetap mengalir.

Ia akui jika ia bodoh karena terang terangan mengatakan jika selama ini ia tak percaya pada Evan. Tentu saja Evan merasa egonya tertindas karena itu. Terlebih lagi mendengar pengakuan Evan yang mencintainya, meskipun hanya tersirat semakin membuatnya seperti orang bodoh. Ia ingin pergi menemui Evan, tapi di sisi lain ia juga takut jika Evan tak mau memaafkannya.

Distria membuang pecahan kaca ke kantong sampah dan membersihkan kekacauan yang lainnya lalu masuk ke kamar mandi. Lihatlah penampilannya yang mengenaskan itu, kantung mata hitam dan bibirnya yang pucat tampak membuatnya seperti orang gila. Iya, dia memang gila karna membuat orang se sabar Evan-dalam menghadapinya-marah dan kecewa. Ia memutuskan untuk mandi lalu membuat sarapan ala kadarnya, itupun tak ia habiskan karena moodnya yang sedang buruk. Distria melirik jam dinding. Hampir jam makan siang rupanya. Ia ingin menyambangi Evan dan segera meminta maaf, walaupun ia tak yakin jika Evan memaafkannya begitu saja. Ia sempat menimbang nimbang bagimana, apakah ia datang saja. Terlepas Evan memaafkannya atau tidak, itu urusan nanti. Ia tak tenang jika harus begini terus.

Setelah berganti pakaian, Distria menunggu grab pesanannya diluar rumah. Sebelum ke rumah sakit, ia juga menyempatkan membeli makanan untuk Evan. Ia terus terusan menghela nafas gusar sepanjang perjalanan. Bahkan setelah sampai di rumah sakit, ia masih merasa tak yakin. Ia bertanya pada seorang perawat, apakah Evan sedang kosong sekarang. Perawat itu menyuruhnya untuk langsung masuk saja karena tau siapa dirinya. Ia tiba di depan pintu ruangan suaminya dengan tangan dingin, lalu memutar knop pintu perlahan hingga pintu sedikit demi sedikit terbuka.

Ia yang tadinya gugup, kini menjadi terkejut melihat apa yang di depannya. Evan tampak sedikit terkejut lalu melepaskan tangannya yang menggenggam tangan Siska yang duduk di hadapannya. Siska yang terkejut Evan melepaskan tangannya, menengok dan menemukan Distria yang berdiri di ambang pintu dengan kantong makanan.

Distria sendiri kikuk, bingung harus berbuat apa, "Maaf, ak- aku ke toilet dulu"

Tak mendengarkan apakah Evan mengejar atau sekalipun memanggilnya atau bahkan membiarkannya pergi, ia melangkah menjauh dari ruangan itu. Ia membuang makanan yang di belinya begitu ia melihat sebuah kotak sampah. Ia ingin segera pergi dari sini sebelum orang orang mengetahuinya yang sedang menahan tangis itu.

***

Kejadiannya begitu cepat saat Evan mencoba menenagkan Siska yang baru saja kehilangan kandungannya. Evan yang tak tau harus bagaimana hanya mengusap tangan temannya itu. Benar, Siska memang sudah menikah. Bahkan dari dua tahun yang lalu. Baru sebulan ia mendapat kabar bahagia bahwa dirinya mengandung, hari ini ia mendapat tamparan keras bahwa janinnya sudah tiada. Padahal ia tak merasakan apa apa. Apalagi suaminya sedang keluar kota.

Evan terkejut tentu saja saat melihat Distria tiba tiba sudah berada di ruangannya, tak bisa dipungkiri bahwa keadaan Distria cukup kacau meskipun tertutup make up, sama sepertinya yang juga kacau. Reflek, Evan melepaskan genggamannya di tangan Siska lalu berdiri. Ia ingin menghampiri istrinya tapi menahan diri karna ini di rumah sakit, apalagi ada orang lain disini. Ia tak bisa melakukan apa apa saat Distria bilang ingin ke toilet. Padahal ia tau, pasti Distria salah paham dan memilih pergi.

"Van, itu tadi Distria" ucap Siska merasa tidak enak.

Evan memejamkan mata, "Iya nggakpapa, dia ngerti kok".

Evan memilih untuk membiarkan Distria pergi begitu saja. Bukan, bukan karna ia masih marah karena semalam. Ia juga menyesali perbuatannya semalam yang lost control itu hingga membuat keributan. Dan yang disesalinya, adalah membuat Distria menangis ketakutan. Tapi amarahlah yang menguasainya semalam.
Evan membiarkan Distria dulu, karna ia yakin jika sekarang ia langsung mengejar Distria pasti akan membuat perdebatan lagi antaranya dan Distria, jadi dia lebih memilih menahan diri dan membiarkan Distria sedikit menenangkan diri, hingga ia pulang malam nanti.

Setelah bekerja seharian dengan hati gelisah, akhirnya Evan sudah menyetir mobil menuju ke rumahnya. Ia berharap Distria sudah tenang hingga dia bisa meminta maaf atas perlakuannya semalam dan menjelaskan kejadian bersama Siska tadi. Ia memarkirkan mobilnya di garasi dan langsung turun lalu masuk begitu saja ke dalam rumah. Rumahnya nampak gelap tapi ia tak menghiraukannya tapi langsung naik untuk mencari keberadaan istrinya. Diatas juga nampak sepi, hingga ia berhasil masuk ke kamarnya.

"Dis?" Panggil Evan sedikit berteriak karena tak menemukan Distria di manapun.
Ia membuka kamar mandi yang juga kosong begitu juga ruangan lain. Nafasnya mulai memburu menyadari bahwa Distria tak langsung pulang dari rumah sakit tadi siang. Ia mencoba menghubungi ponsel istrinya tapi ternyata tidak aktif.

"Sial!" Umpatnya.

Baru saja ia akan turun untuk mencari dimana Distria, ponselnya berbunyi nyaring dan menampakkan nama Gina disana. Wajahnya mengeras setelah mendengar penjelasan Gina tanpa basi basi itu.

"Bangsat!" Umpatnya sekali lagi sambil buru buru turun dan menuju ke tempat yang Gina maksud.

***

Sabar.

SeeU,

Keping RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang