Chapter 7-1

3.2K 297 32
                                    


Setiap kali melihatmu, aku merasa kesal

Tapi sekali aku tidak melihatmu

Aku merasa ada yang salah


Suara ketukan di pintu kamar Ruby membuatnya mendongak dari meja belajar. Ketika dia menoleh, Kevin sudah melongokkan kepala melewati pintu.

"Tugas Fisika," ucapnya tiba-tiba.

Ruby mengangkat alis. "Gue tau. Gue juga lagi ngerjain itu."

Kevin berdehem. "Buku pelajaran gue di kelas. Kalau lo udah selesai, gue pinjam buku lo."

"Kenapa nggak ngerjain bareng aja? Karena lo nggak bawa bukunya, lo mungkin nggak tau, tapi soalnya banyak banget. Gue mungkin musti lembur ntar malam. Kalau lo nungguin gue kelar, bisa-bisa besok lo dihukum gara-gara nggak ngerjain," sebut Ruby.

"Nggak masalah. Gue nggak butuh waktu lama ngerjainnya," sahut Kevin sebelum dia menarik kepalanya dan kembali menutup pintu kamar Ruby.

Ruby mengerutkan kening. Apa Kevin benar-benar sepintar itu? Bahkan meskipun dia sepintar itu, tapi Ruby tidak yakin dia akan selesai sampai besok pagi. Tak ingin merasa bersalah lagi, Ruby bangkit dari duduknya dan menyusul Kevin.

***

"Lo nyadar nggak sih, di luar sini dingin banget?" desis Ruby dengan kekesalan tertahan.

Kevin meliriknya sekilas. "Udah tau dingin, kenapa lo cuma make baju tipis gitu?"

Ruby mendengus tak percaya. "Itu karena gue pikir tadi kita bakal ngerjain di ruang tamu atau di mana pun di dalam rumah. Lo cuma bilang, kita ngerjainnya di bawah. Mana gue tau kalau akhirnya gue bakal berakhir di taman belakang gini?" Dia menatap Kevin galak.

Kevin berdehem kecil. "Kalau di sini, lo juga nggak bakal ngantuk dan lebih konsen karena udaranya segar, kan?"

Ruby memutar mata. "Iya, gue nggak ngantuk, tapi gue juga nggak bisa mikir kali, Kev. Dingin banget ini, bukan cuma segar," sinisnya.

Kevin mendesah berat. Dia lalu melepas jaket dan melemparnya ke arah Ruby. "Lo pake jaket gue, kalau gitu. Puas?"

Ruby mengambil jaket Kevin dan memakainya. "Makanya, kan tadi gue bilang, kita ngerjainnya di kamar gue aja nggak pa-pa. Tapi lo minta ngerjain di luar sini. Jadi ya ... bukan salah gue, dong," dia membela diri.

Kevin tak menyahut dan mulai melanjutkan mengerjakan tugas. Ruby tersenyum puas seraya merapatkan jaket Kevin. Hangat.

***

"By, rumus lo salah. Soal itu pakai rumus yang satunya." Suara Kevin membangunkan Ruby dari kantuknya.

Ruby mengucek mata, menatap hasil kerjanya dan mengerang tak percaya. Dia salah memasukkan rumus karena terlalu mengantuk. Dia mengulurkan tangan, hendak meraih botol kopi, tapi Kevin menahannya.

"Umur lo tuh belum dua puluh, tapi lo udah kecanduan kopi kayak gini," desis Kevin. "Kalau ngantuk, lo tidur deh. Satu jam lagi gue bangunin," sarannya.

Ruby merengut seraya menarik tangannya dari pegangan Kevin. Sejak masuk SMA, dia memang semakin kecanduan kopi. Hanya dalam satu malam lembur tugas, dia bisa menghabiskan dua hingga tiga botol kecil kopi.

"Kalau gue tidur, kapan kelarnya coba?" protes Ruby.

"Kalau lo nggak konsen gini, gimana lo bisa ngerjain tugas lo?" balas Kevin.

Ruby mendapati Kevin ada benarnya. Toh dia sudah menghabiskan dua botol kopi dan masih mengantuk. Sepertinya dia memang terlalu lelah setelah latihan debat siang tadi.

"Satu jam tepat, jangan lebih," ucap Ruby seraya menuding Kevin.

Kevin mengangguk. Dia menatap ponselnya. "Satu jam lagi, berarti jam dua belas lebih empat puluh tiga," sebutnya.

Ruby mengangguk. Dia lantas menggeser buku-bukunya, mencari posisi nyaman untuk menelehkan kepala. Dalam hitungan detik, dia sudah lelap. Samar dia mendengar Kevin berbicara, tapi dia tak bisa menangkapnya dengan jelas karena suara Kevin terlalu jauh. Dia juga tidak peduli.

Ruby bisa tidur dengan tenang karena Kevin akan membangunkannya satu jam lagi. Dia tidak perlu khawatir tertidur sampai pagi seperti biasanya. Setidaknya, kali ini ada baiknya Kevin ada di sini. Dia bisa tidur dengan tenang meski hanya untuk satu jam. Satu jam yang sangat berharga.

***

Ruby menghela napas lega ketika akhirnya sudah menyelesaikan tugasnya tiga puluh menit sebelum jam dua. Sementara Kevin yang sudah selesai saat Ruby bangun jam dua belas lebih empat puluh tiga menit tadi, masih duduk di sebelah Ruby. Dia terpaksa menemani Ruby hingga selesai karena dia yang memilih tempat ini dan Ruby sudah terlalu nyaman untuk pindah ke dalam rumah.

Toh dia sudah menghabiskan setengah jam dengan hanya menunggui Ruby tidur untuk membangunkannya. Jadi, menunggunya sedikit lebih lama bukan masalah, kan?

"Tapi Kev, kok lo bisa nggak ngantuk sama sekali? Dari tadi juga lo nggak tidur, kan?" Ruby menoleh penasaran ke arah Kevin yang mulai membereskan buku dan alat tulisnya. "Padahal di kelas lo selalu tidur. Tapi tadi lo sama sekali nggak tidur. Kok bisa? Ada rahasianya nggak?"

Kevin melirik Ruby sekilas. "Kenapa? Waktu belajar lo masih kurang?" sinisnya.

Ruby mencibir seraya membereskan buku-bukunya sendiri. "Nggak gitu juga, sih. Tapi kan sayang aja kalau waktu gue abis terlalu banyak buat tidur. Kadang gue nggak pengen tidur, tapi karena gue udah ngantuk banget, ya gue terpaksa tidur. Padahal kalau gue nggak tidur, gue bisa ngerjain lebih banyak soal latihan Matematika, trus gue juga bisa ngapalin lebih banyak kosakata bahasa Inggris. Atau nggak ..."

"Jadi, lo lebih seneng insomnia, trus tiap hari tidur di kelas di tengah pelajaran?" sela Kevin sinis.

Kegiatan Ruby terhenti seketika. "Insomnia?" Dia menatap Kevin tak percaya.

Kevin melirik Ruby sekilas, tanpa menjawab, dia hendak meninggalkan Ruby. Sontak Ruby mengulurkan tangan, berusaha menahan Kevin. Namun, begitu dia menyentuh lengan Kevin, dia segera menarik tangannya.

"Kenapa lo nggak bilang sama sekali kalau lo juga kedinginan?!" omel Ruby kesal.

Mengabaikan Ruby, Kevin akhirnya benar-benar meninggalkannya. Ruby menatap punggung Kevin dengan muram.

"Apa-apaan coba? Bikin gue ngerasa bersalah aja. Lagi-lagi ..." Ruby merengut seraya melanjutkan memberesi buku-bukunya.

***

"Om Vino nggak tau tentang insomnia lo, ya?" tebak Ruby ketika mereka berjalan meninggalkan rumah untuk pergi ke sekolah.

Kevin tak menjawab, membuat Ruby mengulangi pertanyaannya lagi.

"Lo mau anak-anak lain liat kita berangkat sekolah bareng?" akhirnya Kevin berbicara, membuat Ruby terpaksa menyerah akan pertanyaannya dan membiarkan Kevin berjalan lebih dulu.

Ini pertama kalinya Ruby membiarkan Kevin berjalan lebih dulu. Dia terlalu terkejut karena untuk pertama kalinya, Kevin peduli akan masalah teknik berangkat sekolah mereka, lebih dari dirinya. Dan sepertinya, Kevin memanfaatkannya dengan baik. Di depan sana, dia berjalan dengan langkah lebar, meninggalkan Ruby di belakangnya.

"Apaan coba ... ngambekan gitu," cibir Ruby. "Cewek juga kalah, deh."

***

Introduction of Love (End)Where stories live. Discover now