Chapter 7-3

3.1K 310 113
                                    

"Tadi lo ngomong apa, sampai anak-anak pada heboh gitu?" tuntut Kevin begitu Dina meninggalkan hanya mereka berdua di kelas usai latihan sore itu.

Ruby menggeleng. "Dekha aja yang masih dendam gara-gara masalah kemaren."

"Lo yakin?" Kevin meragukannya.

"Lo juga kenal Dekha, kan? Lo tau sendiri Dekha kayak gimana." Ruby benar-benar enggan menjelaskan situasi sebenarnya.

"Gue tau banget kalau dia orang yang selalu megang kata-katanya," tandas Kevin.

Ruby juga sangat tahu itu. Dia dekat dengan Dekha bukannya tanpa alasan.

"Dan gue udah ngomongin masalah kemaren sama dia. Gue bilang, nyebarin rumor tentang gue sama elo buat balas dendam sama sekali nggak gentle. Dia juga bilang, dia cuma kesal sesaat dan nggak bakal ngungkit-ngungkit itu lagi. Jadi ... masalah hari ini, pasti bukan Dekha yang mulai, kan?" Kevin menatap Ruby lekat.

Ruby bisa merasakan wajahnya panas. Dia tak sanggup menatap Kevin ketika membalas ketus, "Terserah elo deh mau ngomong apa juga."

Dia lantas meninggalkan Kevin dan lebih dulu keluar dari kelas.

***

Ruby belum pernah merasa sesendiri ini dalam perjalanan pulangnya. Biasanya, jika dia pulang terlambat dan sendirian, dia lebih suka naik becak atau taksi. Namun, tadi pikirannya terlalu sibuk untuk memikirkan itu. Dan sekarang, dia sudah setengah jalan menuju rumahnya.

Pasrah dengan kesendiriannya di jalan samping sekolah yang lengang sore itu, Ruby memutuskan untuk berjalan saja hingga rumahnya. Dia mendesah berat menyadari dia tak mungkin sanggup menghadapi Kevin selama beberapa waktu karena insiden tadi. Rasanya Ruby tidak akan sanggup menatap Kevin tanpa menunjukkan wajahnya yang memerah malu.

Ruby menarik diri dari pikirannya ketika menyadari kehadiran orang lain di jalan itu. Dua orang anak sekolah, entah dari sekolah mana, dengan motor berisik mereka, sudah menjajari Ruby. Ruby menatap anak-anak itu dengan terganggu. Tampaknya mereka sengaja membarengi Ruby.

"Kok jalan sendirian aja? Mau dianter?" salah seorang dari mereka berbicara.

Ruby benar-benar sedang tidak dalam mood untuk berdebat. Namun, membiarkan anak-anak ini begitu saja hanya akan semakin menyakiti telinganya.

"Nggak perlu. Kalian ngojek di tempat lain aja," sinis Ruby.

"Wuih, galak amat. Cantik-cantik kok galak ..." celetuk salah seorang dari mereka.

Ruby menghentikan langkah, berharap mereka akan pergi dengan tenang. Namun, mereka juga ikut berhenti dan malah tersenyum lebar ke arah Ruby.

Ruby sudah siap memaki mereka ketika tiba-tiba, seseorang melingkarkan lengan di bahunya. Betapa terkejutnya Ruby mendapati orang itu adalah Kevin. Dia tidak tahu sejak kapan Kevin ada di sana.

"Kalian ada masalah apa sama cewek gue?" Ucapan Kevin membuat Ruby lebih terkejut lagi.

Ruby hendak menarik diri, tapi Kevin justru mempererat rangkulannya di bahu Ruby.

"Eh ... ini ceweknya Kak Kevin?" Kedua anak itu tampak panik.

Ruby mengerutkan kening melihat reaksi anak-anak itu. Mereka kenal Kevin?

"Ma ... maaf, Kak ... kita tadi cuma iseng, kok. Kita nggak tau kalau ini ceweknya Kak Kevin. Maaf, Kak ..." Kedua anak itu menatap Kevin penuh sesal.

"Maaf ya, Kak ..." mereka berdua berkata kompak ke arah Ruby. Setelah mengangguk sopan ke arah Kevin, akhirnya mereka meninggalkan Ruby berdua dengan Kevin di jalanan itu.

"Lo ... kenal mereka?" tanya Ruby.

"Mereka tau gue," jawab Kevin pendek seraya menarik lengannya dari bahu Ruby.

"Eh?" Ruby tersentak pelan ketika tiba-tiba Kevin menautkan tangannya dengan tangan Ruby.

"Ini jamnya anak-anak kayak tadi ngumpul. Biasanya mereka lewat jalan ini. Lagian, nggak ada anak sekolah kita ini. Paling nggak, sampai di komplek lah, lo tahan bentar kalau nggak mau diganggu lagi," Kevin berkata.

Ruby tak mendebat dan hanya mengangguk singkat. Dia pun berjalan bersisian dengan Kevin, tangan mereka bertautan. Sejujurnya, Ruby merasa lebih baik karena ada Kevin di sini. Dia benar-benar benci dengan gangguan seperti tadi. Dan setidaknya, sekarang dia tidak perlu khawatir karena ada Kevin.

Dalam diam, keduanya berjalan beriringan. Masih tanpa mengatakan apa pun, Kevin tiba-tiba menarik tangannya. Saat itulah Ruby baru menyadari bahwa mereka sudah tiba di komplek perumahan Ruby, dan sudah saatnya Kevin mengambil jalan memutar.

Ketika Kevin sudah hendak berjalan pergi, Ruby menahan tangannya. Kevin tampak terkejut ketika berbalik dan menatap Ruby.

"Lo bilang ... nggak ada anak sekolah kita ... jadi ... lo nggak perlu muter ke blok sebelah," ucap Ruby sedikit gugup. "Lo ... lewat jalan ini aja ..."

Kevin tak langsung bereaksi dan hanya menatap Ruby selama beberapa saat. Merasa canggung, dan juga malu, Ruby menarik tangannya. Dia bahkan memalingkan wajah karena tak sanggup menatap Kevin.

"Tapi, kalau lo nggak mau ..." Kalimat Ruby belumlah selesai ketika tiba-tiba Kevin menggandeng tangannya.

"Eh?" Ruby menatap Kevin bingung.

"Mau sampai kapan lo berdiri di sini terus? Gue udah capek, gue pengen cepet pulang dan istirahat. Tapi, kalau lo mau tetap di sini ..."

"Gue juga mau pulang, kok," balas Ruby, tanpa sadar balik menggenggam tangan Kevin. Saat itulah, Ruby merasakan jantungnya seolah merosot, sebelum degupnya menjadi tak beraturan.

Ruby melirik Kevin, tapi Kevin tampak baik-baik saja. Lalu ... kenapa Ruby mendadak merasa seperti ini? Apa Ruby sakit? Apa dia terlalu lelah? Apa dia demam?

Sungguh, ada apa dengannya?

*** 

Introduction of Love (End)Where stories live. Discover now