Chapter 7-2

3.2K 310 80
                                    

Untuk pertama kalinya, akhirnya Ruby menyadari bahwa Kevin juga berusaha untuk tidak tertidur. Dia bukannya tidur di kelas karena ingin, tapi karena insomnianya. Ruby melirik Kevin dengan cemas. Kevin menarik napas dalam, mengusap matanya yang sudah merah karena mengantuk.

Kevin tampak kesal ketika akhirnya dia menyerah dan menelehkan kepala di meja. Selama ini, Ruby tidak pernah memperhatikan Kevin. Dia sama sekali tidak tahu jika Kevin bukan hanya sekedar tidur. Ruby menghela napas berat ketika akhirnya Kevin benar-benar tertidur.

Ternyata, apa yang Ruby pikirkan tentang Kevin selama ini salah. Memikirkan bagaimana dia selalu menganggap Kevin suka membuat masalah, dia kembali merasa bersalah. Terlebih, Ruby sama sekali tidak tahu tentang masalah Kevin ini meski mereka sudah tinggal di rumah yang sama selama beberapa bulan. Tanpa tahu apa-apa, dia selalu menyalahkan Kevin.

Ruby dengan hati-hati mengangkat bukunya, sebisa mungkin membuatnya menutupi Kevin yang sedang tidur. Dia harus melakukan sesuatu dengan insomnia Kevin ini, Ruby berjanji pada dirinya sendiri.

***

"Kevin nggak ikut latihan?" Ruby bertanya pada Dina saat mereka berkumpul di ruangan klub bahasa Inggris untuk berlatih.

Dina mengedikkan bahu. "Tadi sih, Kak Kevin dipanggil Pak Bima. Kayaknya mau diajakin ikut pertandingan basket atau sepak bola, gitu. Tapi nggak tau juga, sih."

Ruby mengangguk-angguk. "Emangnya Kevin bisa main basket atau sepak bola?"

"Aku pernah denger sih, Kak Kevin emang jago basket, atau sepak bola, atau malah dua-duanya gitu," sahut Dina.

Ruby meragukan pernyataan Dina. Kevin yang pemalas itu? Apa dia benar-benar bisa bermain basket, dan bahkan, sepak bola? Dia tahu Kevin tertarik dengan klub olahraga, tapi tidak semua yang suka olahraga bisa basket dan sepak bola, kan?

"Kha!" Ruby memanggil murid cowok paling cerewet di klub.

Dekha yang duduk di sofa dekat pintu ruangan, menoleh cepat. "Apa?" balasnya ketus. Dia masih dendam karena kekalahannya kemarin. Pasalnya, akhir minggu ini dia akan harus mentraktir semua anggota klub debat di kafe dekat sekolah.

"Kevin bisa main basket, emang?" tanya Ruby langsung.

Dekha mengerutkan kening. "Bisa. Kenapa?"

"Sepak bola juga?" lanjut Ruby.

Dekha mengangguk. "Kenapa emangnya?"

Ruby menggeleng. "Kata Dina, Kevin dipanggil Pak Bima buat ikut pertandingan basket atau sepak bola. Gue nggak percaya aja kalau dia bisa," ucapnya santai. "Anak-anak kelas lo ada yang dipanggil juga nggak?"

Dekha menyipitkan mata. "Kenapa lo mendadak penasaran banget sama Kak Kevin?" Pertanyaan Dekha mengundang tatapan murid-murid lain di ruangan itu pada Ruby.

"Apaan, sih ... orang gue cuma nanya kenapa dia nggak ikut latihan. Dina bilang ..."

"Lo nyariin Kak Kevin?" potong Dekha dengan nada kemenangan.

Ruby menatap Dekha geram ketika murid-murid lain mulai menyorakinya.

"Ciyee ... Ruby kangen sama Kak Kevin, ya? Ciyee ... Ruby naksir Kak Kevin juga, nih, ceritanya?" Dekha semakin gencar melanjutkan.

Ruby melotot galak sementara murid-murid lain sudah mulai tertawa dan bergabung dengan festival kegilaan Dekha.

"Terusin aja kalian kayak gitu. Awas aja ntar kalau jadi lawan debat gue. Gue bantai kalian," ancam Ruby sungguh-sungguh.

"Kalau ngamuk, berarti bener tuh kata Dekha," celetuk Irin.

Ruby melotot ke rekan debat terbaiknya itu. Bahkan Irin juga ...

"Eh, tapi gue penasaran, kenapa Ruby selalu manggil Kak Kevin langsung namanya?" Kali ini Mitha angkat suara. "Jangan-jangan, mereka udah pacaran ..."

"Nggak!" sangkal Ruby. "Nggak mungkin, lah! Emangnya gue udah gila?"

Ruby terus menyangkal, sementara sorakan demi sorakan justru semakin ramai. Ruby menatap Dekha yang tampak puas, dengan penuh dendam. Ah, di saat seperti ini, seandainya ada Kevin, masalahnya tidak akan serumit ini. Kemarin juga berkat Kevin, Dekha tidak bisa melanjutkan balas dendamnya pada Ruby. Namun, kali ini ...

Tatapan Ruby seketika tertuju ke arah pintu saat seseorang masuk ke dalam ruangan. Dia tak dapat menahan kelegaannya saat melihat Kevin. Dan dia mendapati itu suatu kesalahan, karena Dekha justru semakin menggodanya karenanya.

"Duh, gitu amat ngeliatinnya, By. Padahal baru juga sebentar nggak liat Kak Kevin, udah segitu kangennya lo?" Dekha berkomentar.

Ruby menatap Kevin yang sudah mengernyitkan kening, bingung dengan sorakan-sorakan yang tertuju padanya kemudian. Kevin menatap Ruby, menuntut jawaban, tapi Ruby hanya bisa membalas tatapannya dengan tatapan meminta bantuan.

"Gitu ya, kalau udah jadian, nggak perlu ngomong juga perasaannya udah tersampaikan," komentar Mitha, membuat suasana semakin riuh.

"Bukan gitu!" elak Ruby. "Kalian kenapa, sih?! Rese banget, deh!" kesalnya.

"Nggak usah malu-malu segala, By," Irin berkata. "Kalau lo sama Kak Kevin jadian, kita semua juga ngedukung kalian, kok. Nggak perlu disembunyiin lagi. Yang penting sih ... PJ-nya!"

Pernyataan Irin didukung sorakan persetujuan yang lainnya, sementara Kevin tampaknya akhirnya mengerti situasinya.

"Kev, lo jelasin dong ke mereka!" tuntut Ruby, tak sabar dengan diamnya Kevin.

Kevin tak membalas Ruby dan malah dengan santai berjalan di kursi tepat di depan Ruby.

"Kalau diem, berarti iya, tuh ..." Dekha melanjutkan aksinya.

Ruby menggeram kesal ke arah Dekha. Tadi dia mengatakan yang sebaliknya, dan sekarang dia berkata seperti itu. Rasanya, Ruby ingin menyumpal mulut berbisa Dekha dengan kertas-kertas catatan di depannya ini.

"Kamu beneran jadian sama Kak Kevin, By?" Suara tak percaya dari sebelahnya membuat Ruby berbalik dengan kesal dan menatap sang pemilik suara.

"Nggak, Din! Emangnya gue udah gila?!" amuk Ruby.

Dina meringis.

"Biasa aja kali, By. Ngelaknya nggak usah gitu-gitu amat. Ntar pacar lo sakit hati, lho ..." Dekha kembali bersuara.

Ruby kembali menatap Dekha dengan tatapan membunuh. "Udah gue bilang, gue sama Kevin ..." Kalimat Ruby terhenti ketika seseorang menggenggam tangannya.

Ruby menoleh ke depan dan didapatinya Kevin yang menggenggam tangannya. Dia menyelipkan sesuatu, lipatan kertas, di tangan Ruby, sebelum menarik tangannya.

Tindakan Kevin itu membuat anak-anak klub semakin heboh. Dekha bahkan sudah berteriak-teriak menjadwalkan PJ. Mengabaikan keributan itu, Ruby membuka lipatan kertas dari Kevin dan membaca tulisan tangan Kevin.

Semakin lo ngelak, semakin mereka ribut. Diemin aja. Ntar juga pada diem sendiri.

Ruby menatap Kevin dan mendapati cowok itu juga sedang menatapnya. Lagi, Ruby merasakan perasaan aneh seperti kemarin karenanya. Kevin lalu meraih koran di dekatnya, dan menunduk di atas buku catatannya, sibuk menulis sesuatu dari koran itu.

"Tadi gue ketemu Bu Anez. Hari ini kita latihan sampai sore buat nyari evidence dari topik yang kemaren kita buat sendiri-sendiri. Yang nggak bisa dapet evidence-nya, kebagian tugas ngetik semua daftar topik yang kemaren," ucap Kevin santai.

Keributan karena masalah PJ tadi seketika berganti keributan dengan tugas mereka. Gerutuan panik terdengar di seluruh ruangan sebelum akhirnya berakhir dengan ketenangan yang sudah sangat Ruby rindukan.

Diam-diam, Ruby menatap Kevin yang lagi-lagi juga menatapnya, kali ini dengan tatapan, "Bener, kan?"

Ruby tak dapat menahan senyum ketika menunduk dan mulai mengerjakan tugas dari Bu Anez. Dia bahkan harus menggigit bibir untuk menghentikan senyumnya.

***    

Introduction of Love (End)Where stories live. Discover now