di Pelataran Candi di bawah Purnama

141 8 0
                                    

"Kangmas, mengapa kita berada disini? Bukankah kita sedang bertapa di pantai Selatan?" Nawangsari memandang seorang pemuda yang duduk di sampingnya.

"Aku membawamu sebentar dyah-ayu. Saat ini kita bertemu dalam wujud sukma. Jasadku dan jasadmu disana, disini hanya ada sukmaku dan sukmamu" ucap Panembahan Senopati.

 Jasadku dan jasadmu disana, disini hanya ada sukmaku dan sukmamu" ucap Panembahan Senopati

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

https://coretanpetualang.wordpress.com/2011/03/11/candi-ratu-boko-istana-megah-di-atas-bukit/

"Apakah kiranya yang membuat kangmas membawaku kesini. Bukankah ini adalah pelataran candi Ratu Boko kangmas?. Sepertinya aku sangat mengenal tempat ini" ucap Nawangsari memperhatikan sekitar.

"Tentu saja engkau sangat mengenalnya. Kita pernah memadu kasih disini. Di tempat yang tinggal puing-puing ini. Namun kaupun juga tahu bahwa keindahannya tak lekang oleh waktu. Karenanya aku ingin mengajakmu bercengkerama sebentar disini. Mengingat kembali masa-masa itu"

"Kangmas, nimas tak begitu mengerti dengan maksud kangmas, tapi biar nimas tebak. Apakah kita pernah turun ke bumi sebelum waktu ini?"

Panembahan Senopati tersenyum melihat perempuan ayu yang duduk di sampingnya. Perempuan yang mampu membuatnya tergila-gila. Hingga nafsu asmaranya begitu berkobar-kobar saat melihat matanya. Entah kekuatan apa yang perempuan ini miliki tapi pesona kecantikannya bahkan melebihi para bidadari. Lagi-lagi Panembahan Senopati mengamati pakaian lusuh yang Nawangsari kenakan. Dan itu membuatnya kembali tersenyum.

"Diajeng, dyah-ayu, dengan parasmu yang cantik nan ayu itu, kenapa engkau lebih suka mengenakan celana ketimbang jarit yang biasa digunakan gadis-gadis ningrat" tanya Panembahan Senopati melampaui semua pertanyaan yang Nawangsari tanyakan.

"Kangmas, kenapa engkau menanyakan hal sepele yang tidak perlu ada dalam diskusi kita" jawab Nawangasari tersenyum malu.

"Hal sederhana di dalam dirimu, selalu menjadi hal luar biasa di mataku nimas. Aku masih belum rela melepaskan semua keindahan yang kau suguhkan ini" ungkap Panembahan Senopati ketika ia teringat bahwa mereka harus terpisah kembali. Sama seperti ketika mereka berada di masa sebelumnya. Itulah kenapa kerinduan yang memuncak itu dengan seketika pecah saat mereka saling bertemu. Gairah asmara yang tak henti-hentinya membuncah. Hingga kini bahkan nanti saat mereka telah berpisah.

"Nimas, ini adalah pelataran candi, dimana waktu itu Mataram berjaya. Aku ingin kembali membangunnya dan ingin menemuimu sekali lagi, menebus semua kesalahan-kesalahanku. Jika di waktu ini kita tetap harus berpisah, aku inginkan kita akan bertemu kembali dan menjalani kehidupan asmara sekali lagi" ungkap Panembahan Senopati.

"Kangmas, ...." Nawangsari menatap mata Panembahan Senopati. Tak ada kata yang bisa mengungkapkan perasaan Nawangsari saat itu. Rasa bersalah, rasa rindu, rasa getun, rasa bahagia bercampur menjadi satu.

"Nimas, aku akan membangun kembali Mataram. Nama itu akan aku gunakan sekali lagi dan akan menjadi simbol untuk anak keturunan kelak bahwa Mataram yang ingin kubangun adalah Mataram yang perkasa dan berjaya" ucap Panembahan Senopati menekankan kata-katanya meski tanpa berapi-api.

Prajna ParamithaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang