Parang Rusak

89 6 0
                                    

- Parang Gupito -
di antara lembayung senja

"Diajengku, dyah-ayu Nawangsari. Dengan apa bisa kuungkapkan untuk semua isi hati ini. Aku bahkan sudah tak mampu berkata-kata lagi." senyum getir mengembang di sudut bibir P. Senopati mengingat akan waktu perpisahan mereka.

"Diajeng, lihatlah deburan ombak yang pecah ketika bertemu dengan karang itu. Seolah itu adalah aku dan kamu. Kita hanyalah buih yang pecah ketika menghantam kukuhnya tembok pembatas" ucap P. Senopati begitu menyiratkan kesedihan.

"Diajeng, sebagai pertanda pertemuan kita, dan sebagai pengingat untuk anak cucu kelak, akan aku buatkan jarit dengan pola seperti deburan ombak itu. Aku akan menamainya batik Parang Rusak. Kelak, jika aku bertahta menjadi Raja Mataram, aku akan mengenakan jarit itu sebagai perlambang bertemunya kita pada hari ini" ucap P. Senopati kepada Nawangsari. Bagaimanapun P. Senopati juga punya darah seni yang mengalir dalam sendi-sendinya. Setiap keturunan darah biru pasti sangat kental dengan seni dan mampu mengungkapkan pasemon-pasemon yang luhur untuk anak cucu kelak.

 Setiap keturunan darah biru pasti sangat kental dengan seni dan mampu mengungkapkan pasemon-pasemon yang luhur untuk anak cucu kelak

Oops! Bu görüntü içerik kurallarımıza uymuyor. Yayımlamaya devam etmek için görüntüyü kaldırmayı ya da başka bir görüntü yüklemeyi deneyin.

(nyomot di mbah google)

"Jika demikian, selain hanya untuk kenangan, adakah yang lain yang tersembunyi kangmas?" Nawangsari bertanya pada P. Senopati seolah sudah tahu apa yang ada di benak orang yang dicintainya itu.

"Ah, Diajeng, dyah-ayuku, tentu saja ada yang tersirat dari setiap karya-karyaku. Anak cucuku kelak akan selalu mampu membaca semua yang tersirat. Karena demikianlah ilmu Jawa itu diturunkan." jawab P. Senopati

"Jarit bermotif parang yang berupa garis-garis diagonal merupakan penyatuan wujud garis horizontal dan garis vertikal. Ini adalah wujud kehadiran sesuatu yang diluar diri. Sesuatu yang mengandung makna berpasangan, laki-laki dan perempuan, hidup dan mati, sakit dan sembuh, langit dan bumi dan semua pasangan, seperti kehadiran kita saat ini Diajeng" jelas P. Senopati.

Nawangsari menyiapkan air teh dengan ditambahi gula aren yang dibawa P. Senopati sebagai perbekalan dan menyuguhkannya pada P. Senopati.

"Air teh dan gula aren ini sama artinya dengan bubur merah-putih, air merah dan gula kuning-putih adalah simbol-simbol kosmik. Merah adalah simbol manusia yang berada diantara langit dan bumi. Putih simbol langit. Penyediaan dua simbol dalam satu kesatuan berarti menyatukan manusia dan langit dalam bentuk air teh dan gula aren. Inilah cara orang Jawa Diajeng."

"Juga mengenai pengobatan secara spiritual bukan berarti budaya Jawa tidak mengenal obat-obatan. Obat-obatan tradisional Jawa itu kaya. Tapi jika pengobatan tidak bisa menyembuhkan makan di tempuh dengan spiritual, yakni menggunakan daya-daya alam. Inilah jalan Jawa." tiba-tiba P. Senopati berceloteh ketika menyruput teh yang Nawangsari hidangkan.

"Kangmas, aku sudah menyatu dengan kangmas. Segala sesuatu yang kangmas ketahui akan masuk ke dalam diriku, demikian juga denganku. Segala sesuatuku akan selalu ada bersama kangmas. Untuk itulah sebenarnya kita tak perlu lagi bersedih dengan perpisahan ini. Nawangsari akan selalu bersama di lubuk terdalam kangmas" kata-kata Nawangsari meluncur ketika membayangkan bahwa minum teh bersama ini akan menjadi kenangan pada akhirnya.

"Iya, Diajeng. Suatu saat nanti, aku akan menyusulmu, menemukanmu dan kita akan menjalani jalan ini bersama lagi tanpa terbelenggu oleh janji-janji kita. Aku akan menemui dalam keadaan terbebaskan" ucap P. Senopati kepada Nawangsari.

Prajna ParamithaHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin