21

11.9K 574 14
                                    

Author pov.

Howie stone tiba di rumah sakit Santa Maria dengan wajah pucatnya berdiri di depan ruang pemulihan dan meilihat Edric dan Emma terbaring tak sadarkan diri. Kemarahannya memuncak melihat kenyataan bahwa anaknya bahkan mengabaikan peringatannya tentang adanya kemungkinan penembak jitu bahkan sekalipun edric telah mengganti mobilnya.

Pikirannya menari nari memikirkan sesuatu bahkan ia harus bertidak cepat sebelum segalanya menjadi fatal. Howie Stone berjalan ke arah sebuah ruangan untuk menemui seorang pria berjas putih. Ia ingin rencananya berjalan sempurna dan tak diketahui oleh Emma dan Edric.

Pukul 12 malam Emma Stone dipindahkan ke rumah sakit Pacific, sedang Edric Stone tetap dirawat di rumah sakit Santa maria yang juga merupakan kepemilikan keluarga Stone. Edric telah melewati masa kritisnya tetapi masih membutuhkan penyesuaian dengan ginjal pemberian Emma. Yang dipikirkan Howie saat ini hanyalah keselamatan keduanya hingga keputusan ini harus dibuatnya.

***

Sudah dua minggu setelah kejadian penembakan terhadap Edric. Tetapi situasi masih sangat kacau karena berita penembakan terhadap seorang CEO muda dari ZIP Enterprise tersebar luas buahkan desas desus tentang kematiannya menjadi viral di media sosial dan media massa, Begitupun juga dengan Emma Stone yang bahkan mendonorkan sebelah ginjalnya untuk Edric disanjung sanjung sebagai perbuatan termulia.

Emma menekan tombol of karena tak ingin melihat berita. Kepalanya dipenuhi berbagai macam hal entah dirinya yang tidak jadi menikah atau kematian Edric yang mendadak karena gagal ginjal. Organ tubuhnya tak merespons kehadiran ginjal baru membuat nyawanya tak tertolong bahkan setelah melewati lima jam operasi. Emma masih berduka karena kematian Edric dan bahkan kematian Edric telah merenggut segalanya dari yang tersisa dihidupnya. Kematian Edric tak pernah diumumkan karena Howie Stone yang masih ingin menganggap anaknya hidup.

Seorang asisten rumah tangga membatu Emma berjalan kekamar namun kakinya berhenti saat bayangan tentang Edric tiba tiba saja memenuhi kepalanya. Matanya manatap nanar sofa berwarna abu abu yang menghadap ke jendela dengan air mata yang berjatuhan.
"Ya Tuhan aku bahkan masih bisa merasakan kehadirannya saat ini" batin emma. Lalu kakinya melangkah lagi dan berhenti di depan tempat tidurnya.

"Pergilah Ny...."

"Panggil aku Laila Miss Brown."

Emma mengangguk lemah dan menoleh seperti memintanya untuk pergi. Saat ini yang dibutkan Emma hanyalah menangis. Matanya jatuh pada sebuah jas yang tergeletak di sebuah sofa berwarna kuning, ia tau itu jas Edric yang dibuangnya asal saat malam sebelum insiden penembakan itu terjadi. Edric baru saja pulang dan menghampiriku yang sedang duduk di tempat tidur menunggunya tanpa mengenakan pakaian membuat pria itu menjadi gila dalam seketika. Hingga jas berwarna biru gelap itu di lepaskan dan dibuang dengan asal.

Emma memeluk jas tersebut dan menghirup aroma parfum Edric yang tertinggal di sana. Lagi lagi air matanya terbit tanpa di duga.
Emma bahkan merasa takdir selalu mempermainkannya pertama Carlo dan kini Edric. Apakah mungkin dirinya ditakdirkan hidup sendiri tanpa seorang pendamping? Ataukah dirinya dikutuk untuk tidak pernah menikah selamanya? Tangisan Emma pecah tak tertahan meratapi kepergian Edric dan bahkan hidupnya yang hancur berantakan tak bersisa.

***
Emma Pov.

Kota New York terlihat mendung dengan langit yang mulai menghitam di pagi hari. Aku menarik sweter berwarna putih menutupi dadaku karena udara pagi ini terasa sangat tipis. Entah ada apa dengan Chris, Sejak kematian Edric pria itu selalu ada untuk membantuku dan pagi ini Chris membawakan kopi untukku seperti hari hari normal lainnya.

Penembak jitu yang dibayar untuk menembak Edric telah di tangkap dan entahlah apakah pria itu masih hidup atau..??? Aku tak peduli. Seminggu setelah aku sadar dan mendapati kenyataan bahwa pernikahanku di batalkan dan lengkap dengan kematian Edric membuatku terpukul hingga aku mengurung diri di dalam kamar. Makanan yang di antar laila hanya kusentuh sedikit selebihnya ku abaikan karena lebih sering menangis hingga tertidur.

Pagi ini aku memutuskan mengunjungi Mr. Stone yang memintaku menemuinya, aku juga ingin menemuinya untuk menyampaikan keputusanku. Aku ingat tentang kata kata Mr. Stone tentang seharusnya aku melanjutkan hidup dan bagaimana harus bertahan tentu semua itu membutuhkan usaha dan kerja keras paling tidak aku harus terbiasa tanpa kehadiran Edric di sisiku. Berbeda ketika dulu kehilangan Carlo, aku muda dan sangat emosional lagipula aku tak selalu bergantung padanya, hingga saat kematiannya aku masih bisa bangkit dan bekerja dengan baik. Tetapi saat ini aku benar benar merasakan kehilangan tumpuan. Dia yang selalu mengerti aku, mendengarkan setiap ocehan dan sikap manjaku bahkan hal hal yang sepele seperti memintanya membelikan pembalut karena tak sempat dan jika saat itu adalah harinya, semua dapat dilakukan edric untukku. Jika ini yang di sebut hampa maka aku sudah merasakan kehampaan itu.

Pembicaraanku dengan Mr. Stone terdengar biasa saja ketika aku menandatangani beberapa surat perjanjian agar perusahaanku untuk sementara ini menjadi milik Zip Enterpise hingga diriku siap untuk kembali lagi menjadi CEO pada perusahaanku sendiri.

"Apa yang akan kau lakukan setelah ini em?"

Aku mengangkat kedua bahuku lalu berdiri dan merapikan pakaianku.

"Entahlah Mr. Stone. Kurasa aku akan menghilang untuk sementara dan kenyataan bahwa diriku telah kehilangan separuh dari jiwaku membuatku ingin menjauh dari hiruk pikuk kota ini."

"Dengar nak, aku mengerti bahwa dirimu belum bisa menerima kenyataan bahwa ankku telah tiada, tapi kuharap kau mengerti bahwa apa yang Edric lakukan semuanya hanya untuk dirimu em. Dia ingin kau tetap hidup, karena mencintai terkadang bukan persoalan kau melepaskan tetapi tentang bagaimana kau bertahan dan hidup."

Aku menarik nafas lalu menghembuskannya perlahan.

"Bersabarlah em. Edric mencintaimu dengan segala yang ada pada dirimu, aku dapat merasakannya dan kuharap kau takan menyerah pada cintanya."

"Terimakasih Mr. Stone, ku hargai segala kebaikanmu padaku. Dan ku mohon mintalah Chris untuk kembali padamu."

"Tidak em. Tidak ketika kau masih berada di New York. Itu pesan terakhir Edric."

"Baiklah Mr. Stone, maafkan aku karena menyita waktumu." Kami berjabat tangan sebelum akhirnya aku pergi. Mr. Stone tak pernah mengatakan dimana letak makan Edric karena tak ingin siapapun mengetahui kenyataan bahwa Edric telah tiada. Alasan mengapa aku tak diijinkan tau dimana makamnya adalah karena setiap saat ada paparazi yang mengikuti kemana kupergi.
Oh aku benci dengan semua hal buruk yang terjadi.

****

"Apa yang kau inginkan Carlo, dan Demi Tuhan berhentilah mengganggu hidupku. Bukankah sudah ku katakan aku tak menginginkanmu dan sudah cukup kau mengacau brengsek."

Aku membanting ponselku ke lantai hinga berhamburan. Apa dalam situasi ini aku harus kembali padanya? Aku bahkan tak mencintainya lagi.

Aku merangkak nai ke tempat tidurku yang terlihat seperti kuburan begitu sepi dan dingin sesunyi hatiku. Aku menangis memangil namanya karena aku sangat merindukannya.

Cinta bukan hanya sebuah gejolak gairah yang meledak dari dalam dirimu tetapi perihal cinta adalah saat kau mencintai bau kulitnya yang berminyak, pelukan dipunggung, kecupan di pagi dan malam hari sebelum kau terbangun dan akan menutup mata, kelopak matanya yang tertutup, bibirnya yang memanggilmu sayang atau bahkan ketika mengucapkan aku mencintaimu. Semua itu adalah hal hal sederhana yang tidak akan ada artinya tanpa kesungguhan.

Aku menangis lagi dengan suara yang ku upayakan untuk lebih pelan agar Chris tak mendengarnya.

Ini adalah malam terakhirku di New York karena besok aku akan berangkat ke tempat pengasingan.

Bersambung....

Dear pembaca sekalian, jadilah pembaca yang baik dengan menekan tanda bintang dan tinggalkan pesan kalian.
Happy Reading hu hu hu...

DESTINY (COMPLETE) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن