23

10.8K 503 9
                                    

Emma Pov.

El berdiri di ambang pintu memperhatikanku yang duduk dengan pistol yang masih berada di dalam genggaman tanganku. Aku yakin ada banyak sekali pertanyaan tentang kehadiran Evan Prince yang memiliki wajah Carlo juga tentang pistol di tanganku.

"Em, kau baik baik saja??" Tanya el yang kini duduk berhadapan denganku. Aku meminta salah satu penjaga meningkatkan penjagaan karena peringatan dari Mr. Howie dan juga Evan membuatku harus lebih waspada.
Aku memandangnya sebentar lalu mengusap air mata yang kini meninggalkan jejak kemerahan.

"El, yang tadi itu... dia......" aku menahan kalimatku karena air mataku mengalir lagi. Dan kali ini benar benar parah karna tubuhku benar benar terguncang karena menangis.
El menghampiriku dan berdiri tepat disebelahku untuk mengusap pundakku.

"Tenanglah sayang. Aku tau kau wanita yang teramat sangat kuat dan kau akan mampu melewati semua ini."

Sebenarnya yang paling kusesali dalam hidupku adalah bahwa aku tak cukup berarti untuk memiliki kebahagiaan. Parahnya semua orang yang kucintai berakhir dengan kematian.

Aku mengusap wajahku dan menyentuh tangan el yang masih berada di bahuku dan itu berhasil menghentikan el dengan usapan tangannya.

****

Pukul 9 malam aku memutuskan beranjak naik ke kakamarku dan langkahku terhenti di anak tangga ke tiga oleh ketukan di pintu depan. Lalu sebuah pesan singkat masuk ke ponselku. Aku melirik ponselku dan membacanya ternyata dari Chris. Dan sudah pasti dia sedang menunggu untuk kubukakan pintu. Aku memiringkan kepala seolah hatiku tergerak untuk memastikan jika ini adalah Chris dan menyadari satu hal bahwa Chris tak pernah mengirimkan pesan singkat untukku dan ini sesuatu yang salah. Alaram dikepalaku berbunyi sebagai peringatan untuk waspada. Kakiku melangkah pelan hampir tak bersuara mengendap ngendap secepat mungkin menuju kamar El yang terletak tak jauh dari tangga lalu membukanya perlahan. El memaandangku penuh tanya sedang keringat telah membasahi wajahku yang mendadak panik.

"Kita harus bersembunyi El. Sekarang." Tukasku dan El yang sedari tadi duduk bersandar di ranjangnya mulai bergerak turun dan membuka laci untuk mengambil sebuah pistol berlaras panjang.

"Berikan padaku El."

Dan el menyerahkan piatol di tangannya dengan tangan yang mulai gemetar.

"Dimana kita bisa bersembunyi El? Aku tak tau harus kemana?"

"Ikut aku."

El membawaku ke sebuah lukisan besar, lalu menyuruhku mendorong lukisan tersebut ke samping kiri. Aku tak bertanya hanya mengikuti perintahnya dan lalu sebagian tembok di hadapan kami berputar 180 derat hingga tampak ruangan lain di balik tembok.

Kami bergegas masuk, namun sebelum  berada didalam kami mendengar suara tembakan serta pintu yang di dobrak secara paksa dan syukurlah karena tembok tersebut telah berputar 180 derajat yang berarti kami akan aman di dalam sini.

"Ini ruangan apa El?"bisikku setelah mataku berhasil menyapu bersih seluruh ruangan. Ada sebuah tempat tidur berukuran besar lengkap dengan TV dan juga ada beberapa peralatan dapur dan mini kulkas di dalam sini.

"Ini ruang rahasia. Aku sudah membersihkannya setelah mendengar kabar kematian tunanganku dan tentu saja tak ada yang tau tentang ruangan ini dan juga ruangan ini tahan peluru. Seluruh dindingnya dilapisi baja tahan peluru sehingga senjata apapun takan dapat menembusnya kecuali jika mereka menggunakan  Nuklir atau semacamnya untuk menghancurkan kastil ini."

Aku mengangguk dan menarik napas lega. Paling tidak kami akan selamat. Di ruangan ini terdapat layar monitor yang cukup besar terpasang di dinding. Mungkinkah ada dua TV di sini??

DESTINY (COMPLETE) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt