Worst Day of My Life Pt.1

428 56 10
                                    

BRAK!

Roarrrrrrr!
Wraaaaggghhh!

Dzing! Dar! Dar!

Kupingku berdenging karena benturan. Suara aneh, disertai bunyi desing peluru dan letusan tembakan secara bersamaan ditangkap indra pendengaranku. Pundak hingga pergelangan tangan kananku terasa sakit, tubuhku terasa terjebak di antara dua bangku yang empuk.

Aku membuka mata. Wajah-wajah orang mati, adalah hal pertama yang kulihat di balik semua jendela. Aku terperosok di ruang antara jok depan dan belakang, akibat benturan tadi.

"Astaga, zombie... Bener-bener ada," pikirku.

Pintu kanan mobil yang tadi terbuka tertutup rapat, sementara kaca depan, kedua pintu di kiri, serta belakang mobil pecah. Tangan makhluk-makhluk itu menjulur ke dalam, berusaha meraih aku dan Ayah. Rasanya, detak jantungku lebih cepat dari cahaya. Seluruh tubuhku berkeringat dingin, mungkin sebentar lagi aku pingsan dan buang air di celana.

"Yah! Ayah! Gimana ini!" pekikku.
Ayah terpaku di atas jok pengemudi, tak berusaha menghindar dari tangan-tangan mayat itu. Ia diam seribu bahasa, dengan raut wajah bercampur murka, sedih, menyesal.

Dar! Dar! Dar!
BLAR!
Ratatatatat!

Dentuman tembakan tanpa henti terdengar di sekitar kami, saling menyahut antara satu dan lain. Artinya, masih ada perlawanan di sini, dan masih ada harapan untukku keluar.

Aku mulai menggerakan badan untuk mencari penembak terdekat dari kami. Aku mendekat ke pintu kanan, menelaah atap-atap bangunan di sebelah kanan mobil. Beruntung, aku melihat ada tiga orang bersenjata yang sedang memberondong tembakan ke arah mayat hidup di bawah mereka.

"Yah! Yah!" panggil ku.
"Itu ada tentara!"

"AH!" jeritku.
Salah satu mayat hidup menarik rambut panjangku dari belakang, kepalanya berusaha masuk melalui kaca belakang yang hancur.

"YAH!"
Aku memanggil ayah sambil menendangi joknya dari belakang. Tangan kananku menggenggam pangkal rambut belakangku, bersentuhan dengan tangan mayat yang menggenggam ujung rambutku. Sementara aku berusaha meraih jok yang diduduki ayah dengan tangan kiri, ia tetap memaku tak membantu. Kulit rambut ini terasa sedang dibakar, sensasi tegang mulai terasa di otot leher.

Tangan kiriku berhasil menggenggam jok, aku menyandarkan punggung ke dudukan jok untuk menjauhkan kepala dari kaca belakang. Tangan mayat ini masih tidak mau melepaskan genggamannya.

"YAH!" bentakku.
"Bunyiin klakson! S-O-S!"

Ayah tak merespon, tak bersuara, ia menoleh ke kanan dan memperhatikan aparat di atap bangunan yang sedang menembak. Aku mulai geram dan membentak Ayah.

"Yah!"
Panggilku dengan suara tinggi, lalu menendang kencang joknya.

"Bangsat."
Umpatku dalam hati.
Aku memutuskan untuk berusaha sendiri, dimulai dengan memiringkan badan ke kanan, lalu menaruh telapak kaki kanan di laci tengah mobil sebagai pijakan. Kaki kiri kurentangkan, berusaha meraih stir mobil.

"Mana lagi..."-Telapak kaki kiriku meraba-raba stir-"Aha! Dapet."
Monolog dalam benakku. Aku berusaha sendiri, sambil dijambak non-stop oleh mayat hidup. Kaki kiriku mencoba menekan tombol klakson pada stir mobil, sementara Ayah tak kunjung membantu.

Beep!
Klakson berhasil kubunyikan dengan telapak kaki.
Aku segera membunyikan ulang dengan nada SOS, tiga kali nada pendek, diikuti tiga kali nada panjang, ditutup tiga nada pendek lagi.

Dzt! Dar! Dzing! Dar! Dar!
Suara desis peluru yang keras nyaris mengalahkan bunyi tembakan, satu per satu mayat di belakang mobil rubuh. Aparat bersenjata di atap tadi menangkap tanda minta bantuanku itu. Aku mengulang-ulang sinyal SOS itu, sambil sekuat tenaga menahan kepala sejauh mungkin dari jendela selama lima menit, tanpa bantuan Ayah sekecilpun. Sepertinya dia tak masalah, jika aku ikut mati dimakan mayat-mayat ini.

Era Yang MatiМесто, где живут истории. Откройте их для себя