Guilt

261 39 25
                                    

Ari

"Gelap bener...."
Keluh Baron yang sedang mengendarai mobil dengan kecepatan 40kmpj, menembus gelap gulita.

"Kamu yakin ga salah jalan Bar?" Ibu resah.
Tiga jam telah berlalu, dan kami belum menemukan titik patokan kami. Sebelum listrik, dan jaringan internet padam, kami sempat menandai patokan-patokan tertentu dalam rute menuju Sukabumi di peta.

"Bahan bakar satu garis lagi pula nih haduh..." keluh Baron.

"Eh merah-merah tuh! SPBU bukan sih?" (Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum)
Ujar Sely, ia duduk di sebelah ku tepat di belakang bangku Baron.

"Nah, akhirnya ada SPBU..." kata Baron.

"Tinggal berharap ada sisa solar aja di sana..." ucap Ibu.

Kami berhenti di depan gerbang SPBU yang ditutup rapat dengan pagar, dan tangki kontainer bahan bakar. Sepertinya seseorang tak ingin isi SPBU ini dimasuki siapapun.

"Yang mau buang air bisa sekarang," kata Ayah.

"Jangan jauh-jauh, bawa senter... Kalo gapunya pinjem ke Ari atau Sely tuh,"
lanjut Ibu.

Ayah mencari tempat untuk buang air dengan menenteng shotgun dan senter untuk menerangi jalannya, Dinda dan Fitri mengikuti Ayah untuk buang air, ditemani Arfan. Sely meminjamkan senternya ke Dinda, ia kemudian merebahkan badannya di dalam mobil dengan mendorong kebelakang bangkunya.

"Gue cari solar dulu ya," ujar Baron.

"Gua aja Bar."
Potongku, mengambil dua jerigen merah dari tangannya.
"Udah, istirahat aja. Daritadi Bekasi sampe sekarang lo nyetir mulu."

"Jangan sendiri Ri," pesan Ibu.

"Sama saya aja Mbak..."–Reka menutup pintu depan–"Ayo Ri," ajak Reka.
Aku dan Reka memanjat pagar SPBU itu yang hanya setinggi dada kami.

"Oit!" Baron memanggil. 
"Guns up. Jangan lupa masih banyak manusia atau yang lain di sekitar kita, kalo gak sembunyi, paling lagi siap-siap menyerang."

Di sepanjang jalan yang kami lewati, kami masih berpapasan beberapa kali dengan mobil lain. Kami berusaha mengikuti beberapa mobil yang kami lihat, berharap mereka membawa kami ke Sukabumi melalui jalan-jalan daerah. Sialnya, mobil yang arus yang kami ikuti terpecah-pecah, hingga kami berakhir di sini. Entah kemana mobil-mobil yang kami ikuti itu menuju.

Aku dan Reka melewati celah yang tak terhalang tangki kontainer besar. Kami dengan hati-hati mendekati tempat pompa bensin. Senter kuarahkan ke segala titik di depanku secara bergantian, sejajar dengan arah laras pistol yang kugenggam. Reka juga memegang pistol yang sebelumnya dipegang Ibu, kini Ibu menenteng senapan serbu yang didapat Baron. Ibu berjaga di depan pagar SPBU, sementara Baron rebahan di bangku depan mobil.

"Sehat Rek?"
Ucapku membuka perbincangan, sambil memeriksa apa solar masih mengalir dari selang pompa bensin.

"Hm? I... ya? Sehat."

"Yakin? Cerita aja kalau ada apa-apa."
Reka terasa lebih dingin dibanding kemarin, aku penasaran apa yang terjadi dengannya. Reka menatapku, sudut mulutnya tertarik ke pipi kiri. mena, sementara aku menekan-nekan pemicu selang solar.

"Eh ada nih yang kanan," ujarku.
Salah satu selang pompa bensin masih mengucurkan solar, entah seberapa banyak sisanya.

Reka menaruh jerigen kosong di sebelah ku untuk diisi, ia bersandar di mesin dispenser SPBU.
"Ri..." panggil Reka.
Aku menoleh dan menatap wajahnya dari sambil berjongkok.
"Gue mau nanya... Tapi, jangan tersinggung boleh ga?"

"Tanya... Apaan?" Balasku, perasaanku antara penasaran dan deg-degan.

"Lo... Aduh maaf ya, pasti sensitif,"–Reka menggaruk-garuk kepala–"Lo mikirin... Adik lo ga sih?" tanya Reka.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now