Death has Arrived

114 17 6
                                    

Sely

"Buseet..."–Ari berbalik badan usai terperanga pada ribuan recs yang mendekat–"Gue ralat deh, ini herd paling besar yang pernah kita semua liat." Ucapnya pada Reka dan Baron yang bersebelahan.

"Ledakan gas dalam rumah tuh besar gak sih?" tanya Reka.

"Ledakannya enggak, tapi suara ledakan harusnya kenceng..." balas Baron.

Ari menatap Baron, ia meragukan rencana ini. "Kalau ini berhasil, kita bakal kehilangan jalan keluar kita. Kalaupun enggak, bakal terlalu telat buat kita lari ke selatan. Either way, we're fucked." (Bagaimanapun juga, kita bakal terperangkap.)

Kepalaku belum berfungsi sepenuhnya untuk memikirkan rencana keluar dari sini. Memang dasar tukang tidur, aku terlelap terlalu dalam sore ini. Orang bilang, tidur pulas di sore hari dapat membuat akal kita menghilang sesaat ketika terbangun. Sepertinya, ada benarnya juga.

"I hope this works." (Aku harap ini berhasil.) Hanya itu yang dapat kupikirkan saat ini.

Beberapa orang sedang berada di perumahan kecil yang terletak di sisi selatan perkemahan. Mereka berencana untuk menumpuk beberapa tabung gas dalam salah satu rumah, dan meledakannya, berharap akan mengalihkan ribuan recs ke selatan.

Rencana itu kedengarannya brilian, tapi Ari ragu kerumunan recs sebesar ini akan bisa dikendalikan dengan beberapa tabung gas, dan peluru. Sebaliknya, dokter Dade dan keluarganya sedikit mengiyakan rencananya. Mereka berdiri berdampingan bersama kelompok kami, kelabut cemas menyertai wajah-wajah mereka.

"Loh? Mau ke mana Pak?" Tanya Dade pada Ayah.
Ayah baru saja membangunkan Ibu dan membopong lengannya di pundak.

"Ikut mereka."–Ayah menunjuk orang-orang yang kabur ke hutan di sebelah timur–"Kita gak bisa di sini..." jawab Ayah.

"Loh? Saya kira kita gak cukup dungu buat ke sana lagi?" Sindir Baron, nadanya saat mengucap kata dungu terdengar tulus menghina.

"Jaga bicaramu. Ide yang lebih dungu justru berharap recs sebanyak ini bisa teralih dari ratusan daging lezat, cuma karena satu rumah meledak," balas Ayah.

"Masalah GEPAT kita bisa urus nanti, sekarang yang penting jauhi gerombolan ini dulu. Toh, itu juga udah banyak yang lari ke hutan." Wisnu menimbrung, ia sama terpacunya dengan ayah untuk memerangi GEPAT.

"Tapi, kita juga gak bisa ke hutan lagi... Itu kan Mbak Mel, dan Arfan juga susah dibawa nembus semak belukar di sana?" sahut Fitri.

"Udah, lebih baik kita lihat dulu ini. Kalau tidak berhasil, bisa pergi langsung," potong Dade.

"Lagipula, masuk ke dalam kan masuk ke wilayah GEPAT lagi... Bisa kita lawan sekarang?" tambah Baron.

"Kenapa emang? Kalian takut? Kalo gak berani lawan teroris, bilang aja. Orang gampang ngertinya... Gak usah cari-cari alasan!" elak Ayah.

Reka memalingkan wajahnya dari Ayah lalu menjarak, aku melihat bibirnya bergumam "Orang gila." Sementara Ari berpaling ke arah selatan, memperhatikan celah yang daritadi ingin ia lalui.

"Dari pada ke hutan, kenapa gak lari ke selatan aja selagi bisa..." ucap Ari.

"Terus, cari apa? Mau rawat Ibu kamu di mana?" tanya Ayah.

"Mobil? Rumah? Apa kek asal jauh dari sini. Kalian inget tujuan awal kita gak sih? Inget Sukabumi gak?" balas Ari.

"Kenapa harus taruhan lagi kejar yang gak pasti, kalau kita bisa kuasain tempat ini?"

"Kuasain dari siapa, Yah?"–Ari berbalik lalu menatap Ayah dan menunjuk gerombolan recs–"Kuasain dari lautan mayat berjalan, yang siap santap kita kapanpun? Tempat ini udah tamat!"

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now