Chapter III: The End of Time

95 13 1
                                    


Reka,
12 Jam kemudian.

Mentari pagi ini terasa lebih segar. Mungkin, karena teror kematian yang membuntuti kami sepanjang malam tadi. Padahal sebetulnya, siang atau malam sama saja. Ajal bisa menjemput kapanpun, kan?

Kreek.
Bunyi tutup kaleng ransum terbuka.

"Oh, waw." Ucapku, terkesima pada aroma yang masuk ke hidung.

"Buset, dagingnya beneran gede-gede potongannya... Bisa buat berempat ini sih," kata Baron.

"Iya bisa, dan bikin kenyang sampai malem. Dijamin." Balas Wisnu, sambil mengaduk-aduk kaleng ransum.

Kaleng itu berbentuk kotak, isinya nasi dengan daging berbumbu rending yang terkompresi menjadi makanan penuh gizi, rendah serat. Kami bertiga baru saja selesai memanaskan sekaleng ransum di sebuah halaman depan rumah terbengkalai, sekaligus menyeduh minuman saset yang datang dalam satu paket. Lidahku dikelilingi liur kala memandangi kaleng berisi potongan daging dan nasi berwarna putih kecoklatan, perutku sudah keroncongan.

"Ari ajak makan tuh, pas kan ini buat berempat..."–Wisnu meletakan kaleng ransum di antara kami bertiga– "Sayang kalau cuma dimakan bertiga nih," kata Wisnu.

Aku berisyarat pada Baron dengan gelengan kepala.

"Dia masih shock." Ucap bibir Baron, dengan volume berbisik.

"Ya makanya, ajak biar tenang." Balas bisikku.

Baron mengayuh dagunya ke arah Ari duduk, menyuruh aku saja yang bicara. Dasar lelaki, sebetulnya peduli tapi penuh gengsi maskulin. Kalau kita akan terus bersama dalam kelana di akhir zaman ini, baiknya mereka tak banyak memikirkan gengsi. Tapi ya oke, kami baru saling mengenal kurang lebih sepuluh hari... Wajar, deh.

"Ri." Panggilku, ia tak berhenti mengoret tulisan dalam buku coklatnya.

"Hmm?" Jawab Ari, sambil tetap memandangi yang sedang ia tulis.

"Ayo, makan. Nasi rendang nih, apa gak ngiler sama wanginya?" ajakku.

"Rendangnya rendang banget ini Ri, sini lah!" Sambung Baron, sambil mencicip suapan pertamanya.

"Kalian dulu aja..." jawab Ari.

"Laah, yakin? Abis ini sih sama kita hehe," ledek Baron.
Sementara aku bangun, dan menghampiri Ari yang duduk bersandar pada tembok rumah.

"Nulis apaan sih, Ri?" tanyaku.
Ari memandangku, lalu menutup buku itu.

"Eng... gak. Rahasia, he?" balasnya.

"Bukan surat wasiat kan? Gak niat mau mati kan lo?" Tanyaku, memastikan ia tak sedang suicidal.

"Haah? Enggak! Bukan begitu... Mana tega gue tinggalin Sely? Apalagi kalo nyokap gue..." Bicara Ari mulai meragu. "Gak... Selamat."

"Stop it. Makan dulu, ayo barengan. Sambil ngobrol kan bisa? Coba, ceritain apa yang ada dalam benak lo... Jangan dipendam gini. Taukan mood negatif itu nular? Ayo dong, kita bakal saling ngedukung kok..." ujarku.

Ari tak membalas, pandangannya lurus ke kehampaan di depannya. Keheningan di udara melekat beberapa detik, hingga Baron memecahnya.

"Last chance, Ri!" (Kesempatan terakhir,) kata Baron.
"Gak kesini, gue abisin nih." Ujarnya dengan nada meledek.

"Apapun yang lo tulis, kita bisa bantu kok. Lo inget gak, kita jurnalis nih... Hehehe," kataku.

"Gak usah diraguin lagi kualitas tulisan kita, apalagi Reka tuh. Emang nulis apa deh? Sinilah ngobrol-ngobrol, ceritain aja!" imbuh Baron.

Ari menatapku, lalu bangun dari duduk bersandarnya secara perlahan.

"Well... On second thought, an actual journalist's help would be priceless nowadays," (Ya... Dipikir-pikir, bantuan jurnalis beneran sangat berharga gini hari,) ujar Ari.
"Tapi jangan diketawain ya...." Tambahnya, sembari menghampiri Baron, Wisnu, dan kaleng ransum.

"Nulis diary ya? Heee..." Tanya Baron beserta tawa ringan dari bibirnya yang kedua ujungnya melebar.

"Anjir, baru dibilang jangan diketawain," Balas Ari.
Wajahnya tersipu malu, ekspresi murungnya tadi seakan tersembunyi.

"Gapapa kali gak usah malu, haha. Diary bisa jadi sumber sejarah lagian, siapa tau berguna buat generasi selanjutnya yang selamat dari zaman ini. Yakan?" Ucapku meyakinkan.

Kami segera duduk bersama, dan menyantap sarapan kami yang penuh gizi. Satu kaleng, berempat. Pun begitu, beberapa suap saja rupanya sudah membuat perutku terasa berisi. Aneh memang makanan tentara. Perbincangan ringan ikut berlangsung dalam sarapan bersama kami, Ari sedikit teryakini untuk membocorkan bait dalam halaman pertama yang ditulisnya.

"Oke..."–Ari menghela nafas sembari melirik-lirik memindahkan pandangan matanya–"Gue baca nih ya, sekarang... Tolong, jangan diketawain lagi." Pesan Ari, sambil mengusap-usap belakang kepalanya.

"Iya-iya, ayo! Kita mau denger," balasku.

"Ketika tidak ada lagi ruang di Neraka, mereka yang mati akan berjalan di muka Bumi." Ari membuka dengan kalimat yang bagiku tak asing.

"Wow... Oke, terdengar menarik." Pikirku, seraya Ari melanjutkan bacaannya.

"Lelah, haus, ketakutan... Ketiganya tak henti mengorbit kami dalam perjalanan nestapa ini. Setidaknya kami masih memegang... Harapan. Untuk melihat dunia yang masih indah, di bagian lain dari negeri ini...–"

*****

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now