14 Hari Pt.1

61 13 2
                                    

Ari
Cianjur, 2 Minggu Kemudian.

"That motherfucker gonna get us killed sooner or later!" (Si bangsat itu bakal bikin kita mati cepat atau lambat!) Bentak Baron, sembari memacu mobil dengan kecepatan tinggi.

"Dar–Prak!"
Bunyi peluru yang ditembakan ke kami, dan menghantam dasbor mobil.

"Anjing! Mereka gak tau kita punya senjata yang lebih lengkap apa gimana?" ucapku.

"Ooh, mereka bakal tau sebentar lagi." Balas Baron, sambil menengok ke belakang sesekali.

Kami sedang dikejar beberapa kendaraan yang berisi orang-orang bersenjata, kejar-kejaran epik sekaligus mengerikan pun meramaikan jalanan kota mati ini di pagi hari. Pemicunya? Benar-benar hal bodoh yang harusnya tak perlu terjadi.

"Motor dateng, dari arah jam lima!" kata Aldi.
Ia duduk di bangku belakang mobil sedan kami, sementara aku duduk di sebelah pengemudi.

"Bisa lo tembak gak, Di?" tanya Baron.

"Lah, kita bakal bunuh-bunuhan lagi?" balas Aldi.

"Seriously? Do we look like we have a choice? Mereka nembak kita duluan, bangke!" (Seriusan? Apa kelihatannya kita punya pilihan?) kata Baron.

"To be fair, kita yang nyolong barang mereka duluan..." sahut Aldi.

"Kita?" sindir Baron.

"Iya, iya! bokap gue." jawabku.

"Oi! Motornya makin deket, mau nyalip dari kanan itu, dan... Ngacungin pistol ke kepala lo Bar!" ujar Aldi.

"Lo bidik dia Di, biar gue yang coba urus dulu."–Aku melepas sabuk pengaman dan berusaha pindah ke kursi belakang–"Jaga biar stabil Bar, pas udah deket lo pepetin ke kanan mobilnya." Saranku, sembari memasang ancang-ancang di pintu belakang sebelah kanan.
"Kalo dia nembak, langsung lo tembak ya Di! Pertahanan diri nih jatohnya," pesanku.

"Kalo dia nembak? Gue mati anjir," keluh Baron.

"Here they come!" ucap Aldi.

Dua orang dengan motor trail mendekati mobil kami, berusaha mensejajarkan posisi mereka dengan Baron. Motor mereka berada tepat di sebelah kanan mobil, bidikan pistol orang yang dibonceng semakin mantap. Aku menunggu momen yang tepat sambil berhitung di dalam hati.

"Satu, dua, tiga!"

"Brak!"
Pintu itu kubuka, dan segera kudorong sekencang-kencangnya dengan tangan dan kaki kanan.

"Brrm-Brum... Gubrak!"
Kedua orang tersebut bergulingan di aspal, motornya terjatuh setelah kuhantam dengan pintu mobil kala mereka tepat berada di sebelah Baron.

"Huaaah!" Seru Baron dengan lega.

"Ha-ha, makan itu bangsat!" makiku.

"Woohoo! Mantep gitu anjir," puji Aldi.

"Masih ada satu mobil nih, kita gak bisa bawa mereka balik ke rumah." Kata Baron, yang tiap beberapa detik mengintip lewat spion.

"Should we light them up?" (Apa kita tembakin saja mereka?) tanya Aldi.

"Ide cemerlang sih, tapi mau pecahin kaca belakang?" balasku.

"Udah bolong dan retak gitu," jawab Aldi.

"Engga, engga... Gak akurat nanti tembakannya. Ini di depan ada perempatan, jalan luas tuh. Nanti gue belok kanan, terus nge-drift dikit buat sejajarin sisi kiri mobil kita sama mereka. Kalian pegangan!" ide Baron.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now