War of Rights Pt.1

140 18 5
                                    

Ari

Lima mobil bak dan truk yang sebagian bekas polisi melintasi kami, orang-orang bersenjata lengkap terlihat mengisi penuh tiap kendaraan. Lima kendaraan lain membuntuti iringan kendaraan pertama, belasan cahaya lampu mobil juga tampak mendekati di belakang iringan kedua. Perasaanku mulai tak enak.

(Bunyi rem mobil)
Setelah lima kendaraan melewati kami, konvoy kendaraan itu bergantian berhenti, dari depan ke belakang. Orang-orang turun bergantian dari kendaraan, beberapa dari mereka membawa megaphone beserta radio handy-talky (HT).

(Bunyi pengeras suara dinyalakan)
Seseorang berselempang putih di hadapanku, mendekatkan HT ke mikrofon megaphone yang dibawanya. Perkumpulan orang membentang di sepanjang pinggiran jalan, mendekati rombongan mobil yang baru tiba.

(Bunyi statik pengeras suara)
"Selamat Pagi Bapak, Ibu, Adik-adik sekalian. Mohon mempersilahkan kami untuk memperkenalkan diri..." ujar seseorang melalui HT.
Aku menoleh ke sekitar, Ibu dan Sely berdiri di sebelah kiriku, Baron di sebelah kanan, Ayah dan Wisnu baru menyusul di belakang.

"Gawat...."
Ucap Wisnu, kamipun menatapnya wajah cemasnya.

"Sebagian besar dari kalian mungkin sudah mengenal kami sebagai pengkoordinir serangan umum kemarin. Tapi, hanya segelintir yang mengenal kami sebagai kelompok. Kami adalah bagian dari GEPAT, komando wilayah Banten."
Kenal sosok yang hanya bisa kami dengar dari HT.

Orang-orang terkejut, mereka saling bertatap, riuh perdebatan mulai bergema. Tak sedikit orang yang segera menjauh dari jalanan. GEPAT adalah organisasi teror yang terbentuk pada akhir 2020, sebuah koalisi gabungan beberapa kelompok teror lama yang menuntut pembubaran pemerintah berkuasa, dan Republik.

"Ja-jangan bilang... Kita baru bantu mereka rebut kuasa?"
Ujar Reka yang menghampiri kami dari belakang, berlawanan dengan beberapa orang yang melangkah mundur.

GEPAT, singkatan untuk gerakan perlawanan umat, mulai vokal menyuarakan perlawanannya ketika kepercayaan mayoritas publik terhadap pemerintah merosot drastis, akibat manajemen pandemi yang buruk. Ketika kemarahan publik meledak setelah wacana pembagian vaksin yang diutamakan untuk pejabat negara dan keluarganya, membuka ruang untuk kelompok teror yang nyaris mati untuk berkoalisi dan menunggangi kemarahan publik.

"Saya udah coba peringatkan, kalian gak mau dengerin..." keluh Wisnu.

"Yang gak mau dengerin kan Ayah, bukan kita," gumamku.

"Selama ini kita telah ditindas oleh pemerintahan negeri kafir ini... Hari ini, azab telah menimpa dunia, dan negeri ini! Telah tiba waktu kita merenggut kembali hak kita, menaikan derajat kita lebih tinggi dari sistem negara yang korup! Ini adalah waktu bagi kita semua untuk bangkit, kembali menegakkan keadilan di bumi Allah!"
Ucap sosok di balik HT, menyuarakan kontra-propaganda. GEPAT dalam kurun waktu satu tahun telah menjadi masalah terbesar Republik, sebelum munculnya WIRE. Memporak-porandakan stabilitas nasional melalui serangan bom dan penembakan di sembilan provinsi, menyerang simbol-simbol negara dan pemerintahan, mulai dari kantor polisi, hingga kantor kecamatan.

"Hak? Atau kekuasaan?" ucap Baron.

"Mereka selama ini diburu, tokoh-tokohnya dikurung... Yang termarjinalisasi cuma kelompok mereka, bukan umatnya... Apa lagi yang dimaksud hak kalau bukan hak buat berkuasa?" balasku.

"Pinter banget ya? Mengubah momentum kekacauan pascapandemi jadi isu keagamaan, mengatasnamakan umat, bikin orang percaya solusi utamanya cuma ubah sistem negara... Padahal, negara maju yang sekuler pun pada berhasil atasin covid kan?" sambung Ibu.

"Negara bekembang bekas komunis pun berhasil, kok," imbuhku.

"Iya, emang tergantung politisinya aja," lanjut Ibu.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now