Trauma

70 15 1
                                    

Ari,

36 Jam Kemudian.

"Pagi ini lebih dingin, sejuk gitu ya?" tanya Aldi.

"Makanya gue pake jaket... Kirain perasaan gue aja," balasku.
Kami sedang berjalan berdua, menyusuri jalan di sebuah kompleks perumahan lain. Sama seperti di komplek rumah baru kami, terdapat kelangkaan kendaraan bermotor, maupun recs di sini.

"Karena kebakaran padam kayanya ya? Atau karena kita lebih deket ke kaki bukit?" Tebaknya, sambil menunjuk Gunung Gede di sebelah barat.

"Masa iya? Jauh banget kita dari taman nasionalnya, belasan kilometer ada kali. Kata gue sih karena mau musim hujan..." sangkalku.

"Bener juga, udah Oktober ini ya? Gue gak inget lagi hari," kata Aldi.

"Belum sih, tapi kita udah di akhir bulan kayanya... Gue hitung-hitung, ini udah tiga minggu lebih semenjak hari evakuasi."

"Tanggal empat kan? Berarti sekarang... Tanggal dua puluhan."

"Yap, dan kita masih bertahan hidup. You ever think how awesome it is?" (Pernah kepikiran sehebat apa gak itu?) ujarku.

"I guess no... Susah buat ngerasa bangga bisa tetep hidup, sementara semua keluarga gue gak bisa." Jawab Aldi, aku berhenti melihat ke sana kemari dan menatapnya.
"Di satu sisi kita bisa anggap mereka tenang dan beruntung, karena gak harus lalui kebangsatan apa yang udah kita lalui. Tapi di sisi lain, gimana bisa mereka tenang kalau meninggalnya penuh ketakutan, penuh sakit, dan jasad mereka masih mondar-mandir, mungkin bergabung sama gerombolan mayat kaya yang sering kita hadapin? Di mata orang lain bahkan jasad keluarga gue gak ada artinya... Just another recs wondering if they could find a meal to satisfy their unending hunger." (Hanya recs biasa yang mencari makan untuk memenuhi rasa lapar yang tiada akhir.) Tutur Aldi.

Aku mengangkat tangan kananku dengan ragu-ragu.
"You're right man." (Lo gak salah.) Ucapku, lalu memegang pundaknya.
"Sorry gue kadang lupa kalo gak semua orang punya latar belakang yang sama."–Aku melepas genggamanku dan lanjut berjalan–"But hey, gue tau apa yang bisa bikin lo merasa hebat karena masih bertahan," cetusku.

Aldi menatapku, lalu menggerakan kepalanya ke atas.
"Dinda lah... Arfan, Fitri juga. Apa lagi kalau bukan mereka?" Ujarku, sementara Aldi malah memalingkan wajahnya.
"Gue tau lo ada masalah sama Fitri, tapi dia tetep keluarga itu. Mereka tuh sisa dari keluarga lo yang bisa selamat sampe sekarang, karena lo gak chicken out dari masalah yang hadang kita selama ini." (Kabur.)

"Gue aja gak tau apa gue butuh dia di sekitar," balas Aldi.

"Siapa, Fitri? Ya jelas lah lo butuh."
Ucapku di mulut, sementara pikiranku memaki "God damn teens." (Dasar remaja.)
"Lo gak hargain keberadaan dia cuma karena kalian lagi berantem mulu aja. Kalo lo bisa tenang dan ubek-ubek hati, pasti peduli juga. Okay lets say lo belom bisa maafan sama dia... Itu gak menghapus fakta bahwa mereka sisa dari keluarga lo yang masih bisa hidup karena lo berjuang juga. Lo udah melindungi garis keturunan kakek-nenek lo tuh. Menurut gue juga itu... Awesome. Ya gak?" tuturku.

(Aldi menghela nafas)
"Hm... Oke, masuk akal juga Bang. Beberapa bagian, terutama yang terakhir, gue rasa ada benernya," balasnya.

"Iyalah. Kalo bisa, lo coba mulai hargain apa yang masih ada Di. Nih ya... Setelah sejauh ini ke akhir zaman, gue yakin semua orang udah kehilangan seseorang. Tapi apa gunanya bawa beban kehilangan itu terus-terusan? Yang terpenting sekarang adalah apa yang kita punya. Lo tau kan adik gue meninggal di hari evakuasi? Tapi gue masih punya Sely, dan nyokap yang paling gue peduliin. Ketimbang menyerah sama memori buruk, yang bakal bikin trauma terpelihara... Gue selalu usaha buat terima yang udah terjadi, terus fokusin diri buat jaga mereka saat ini. Because that's what matters the most." (Karena itu yang paling penting.) Ungkapku.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now