Uprising

316 41 10
                                    

Sely

Mentari kembali bersembunyi lagi, langit yang semula terang perlahan berganti dengan cahaya oranye, lalu kegelapan dengan sedikit spektrum yang tersisa di ujung barat. Aku belum pernah senyaman itu diterpa panas mentari yang mengiluminasi dunia sekarat ini, panas tiada apa-apanya dibanding mayat berjalan yang berselancar di kegelapan malam.

Orang-orang semakin beringas, mereka, kami, kecewa. Ari bilang polisi itu akan membagi air dan makan, memang benar, saat pagi. Pembagian di pagi hari berjalan lancar, kami mendapat satu kaleng ransum polisi berisi nasi dan ayam cincang, satu kaleng besar kornet instan, dan beberapa mie instan yang syukurnya cukup untuk sepuluh orang di mobil ini. Tapi untuk pembagian sore, hanya fiksi. Mereka hanya membagi kami air bersih, yang bahkan tak cukup untuk kebutuhan minum 12 jam. Jangan harap dapat membersihkan tubuh.

Orang-orang kembali marah dan khawatir. Situasi di tempat ini benar-benar seperti kebun binatang berisi makhluk buas, orang tak segan untuk menyakiti hingga membunuh sesama demi air. Aku heran, mengapa tak menyimpan tenaga untuk melawan polisi-polisi jahat itu, ketimbang saling membunuh di bawah kekuasaan mereka.

Merespon keaadaan, polisi berjanji membagikan air lagi pukul delapan malam, namun tetap tanpa makanan. Kini jam menunjukan pukul 19:45, banyak orang telah berkumpul di sepanjang dinding bagian depan benteng para polisi, dan belum ada pertanda mereka mempersiapkan truk air. Aku di sini bersama Ibu, Ayah, Dinda dan Aldi, sementara yang lain berjaga di mobil.

"Eh itu mereka buka gerbang,"
kata Ibu.

"Ayo! Ayo! Cepet!"
Perintah Ayah menyuruh kami berlari mendekati tempat pembagian air, 30 meter dari gerbang benteng. Ratusan orang pun berlarian ke tujuan yang sama.

Gerombolan orang yang berebut air ini membuatku tersadar, bahwa pada dasarnya kami tak begitu berbgeda dengan mayat-mayat yang haus darah dan daging.
Kami didahului puluhan orang yang lebih cepat tiba di tempat pembagian air. 
"sial," batinku.
Kami harus membelah lautan manusia yang haus air bersih dahulu, untuk mendapat giliran.

"Gerbangnya masih kebuka, tungguin tungguin!"
Ujar Dinda melihat gerbang benteng yang masih terbuka.

"Eh iya tungguin truk kedua deh,"
lanjut Aldi.

Kami terjebak dilema. Tak ada kepastian truk kedua akan muncul, tapi jika kami lebih dulu berdiri di tempat di mana truk air kedua sebelumnya diparkir, kami akan berada di barisan terdepan.

"Eh! Tunggu!"
Kata Ibu melihat Aldi dan Dinda yang langsung meninggalkan barisan, menuju tempat kemungkinan truk kedua di parkir.

Aku dan Ibu menyusul mereka.
"Hey! Kalo ga ada gimana!"
bentak Ayah. Pada akhirnya Ayah menyusul kami, merelakan tempat kami di antrian truk pertama,

"Sel? Liat tuh!"
Kata Aldi, ia menunjuk ke arah gerbang masuk yang terbuka lebar.

Sebuah truk air berhenti di sana, beberapa polisi tampak menghalangi truk yang hendak keluar itu, entah apa yang sedang terjadi. Orang-orang mulai berbondong-bondong menuju tempat kami berdiri, mereka pun menantikan truk kedua keluar dari gerbang. Aku bisa melihat apa yang ada di balik dinding untuk pertama kalinya, di dalamnya dipenuhi tenda-tenda besar yang diterangi lampu darurat, lampu mobil, dan alat penerang lain. Banyak orang terlihat berlalu-lalang di dalam sana.

Teriakan terdengar dari gerbang, kami menyaksikan dengan harap-harap cemas dari sini. Tak lama kemudian...
Krek... Brug!
Gerbang dengan cepat diderek hingga tertutup, sebelum keluarnya truk air kedua.

"Loh apa-apaan itu... Kok gitu?"
kata Ibu.

"Ah! Bajingan!"
Hardik Ayah dengan wajah amat kesal.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang