Bawa Kami

306 41 17
                                    

"Ma-... Maafin saya tadi..." ucap Ayah.

Dia mengeluarkan ucapan pertamanya sejak tiga setengah jam terakhir duduk di sampingku tanpa bicara sepatah kata pun.

Ibu menatap Ayah dengan sedikit kerutan pada pipi kirinya, lalu menggenggam tangannya. Sely tak menghiraukan Ayah, entah apa yang mereka berdua lalui. Aku cukup menoleh ke arahnya, mencoba setidaknya menghormati ucapannya, tanpa perlu tahu kepada siapa sebenarnya maaf itu dituju.

"Nah itu kayanya tuh, pertigaan bentuk 'Y' katanya."
Terangku pada Aldi saat kami berada di sebuah pertigaan berbentuk "Y", sesuai informasi yang diberi Reka.

"Satu arah?" tanya Aldi.

"Iya terobos aja lawan arah, tabrakin aja udah itu motor-motornya," balasku. Kami perlu mengambil jalur kanan pada pertigaan yang diperuntukan untuk arah sebaliknya, demi mempersingkat perjalanan. Mobil, motor, dan mayat berserakan di jalan dua lajur tersebut, namun ada celah di bahu jalan untuk kami lewati.

"Lah ada mayat lagi di depan, gabisa lewat mana-mana lagi," keluh Aldi.
Beberapa mayat tergeletak di trotoar, sementara kedua ban di sisi kanan mobil perlu menaiki trotoar.

"Ya... udah," kataku.
Sely dan Aldi menoleh kebelakang, menatapku.

"Lindes aja," sahut Sely.

Aldi menoleh ke Sely sejenak, lalu kembali menatapku.
Aku mengangkat alis kananku, tanda kami tak bercanda.

"Ugh. Marilah."
Celoteh Aldi lalu menginjak pedal gas.

Kretek...
Splat! Srrrt...
Bunyi tubuh mayat yang perlahan hancur dilindas APV kami.
Aku bisa mendengar darah mengucur keluar darinya, diikuti organ dalam tubuhnya yang terseret ban mobil ini.

"Iyuuuh," keluh Dinda.
Wajah seisi mobil ini mengeras, mendengar suara menggelikan tadi. Ayah tak menampilkan ekspresinya, ia menyaksikan mayat itu terlindas lewat jendela. Sementara Fitri menutup kedua kupingnya di belakang.

"Nah, abis pertigaan ada pertigaan lagi nih. Di pin-nya sih ambil kanan, terus di sebelah kiri travelnya," ujarku.

Sedari awal perjalanan kami, aku terus menggenggam ponselku untuk navigasi manual melalui peta dalam fitur share location pada WhatsApp. Setelah perbincangan pertamaku dengan Reka dan Baron, aku sempat meminta nomor ponsel Reka. Sejak pukul sebelas lima belas tadi, pesanku ke WhatsApp Reka hanya centang satu. Posisi terakhir mereka dari live location, yaitu di daerah Bintara, Bekasi yang berbatasan dengan Jakarta Timur.

"Ya ampun. Abis ada apa ini jalanannya..." ujar Ibu.
Jalan yang sedang kami lalui kami sangat berantakan, mayat bergeletakan dan ditumpuk di tengah jalan di antara mobil-mobil yang terbakar. Kobaran api lebih terang dari lampu-lampu jalan.

"Masih pada kebakar itu loh..." sahut Sely.

"Berarti masih... Baru dong?" sambung Arfan.

"Maju aja yang cepet. Awas tapi Di, jangan sampe kegelincir ke got."
Kata Ayah yang mulai berbicara kembali.

Aldi menggeser verseneling ke D2, ia menginjak pedal gas sedikit lebih dalam, mempercepat laju mobil kami. Kami berusaha melalui kobaran api di tengah jalan secepat mungkin, menghindari panas dan kemungkinan ikut terbakar.

Gruduk, Gruduk, Gruduk...
Suara dari sisi kanan mobil melalui trotoar yang bergelombang, dan sesekali melindas benda besar.

Pertigaan yang dimaksud Reka mulai terlihat, jalanan mulai kosong dari mobil terbengkalai. Aldi memperlambat laju mobil kami saat mendekati pertigaan. Sesaat hendak membelokkan mobil ke kanan, beberapa orang muncul dari balik tembok di sisi kanan pertigaan.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now