CHAPTER II: Rights to Live

258 44 15
                                    

Ari

"Ayo dong nyala dong...."
Ucap Fitri, dengan wajah yang harap-harap cemas.
Dia berusaha menyalakan ponselnya dengan kabel USB yang tersambung ke soket listrik di sebelah bangku penumpang mikrobis ini. 

"Eh! Gue dapet nih," kata Dinda.
Sinyal internet kembali tersedia, Dinda segera membuka dan menunggu pembaharuan pesan masuk pada WhatsApp-nya. Aku sedang duduk di bangku yang berada di sebelah pintu belakang, menyaksikan mereka.

Pantulan cahaya surya berpijar di permukaan bulan, menyinari kegelapan dari angkasa. Jarum-jarum pada arlojiku menunjukan pukul 18:10. Lima belas jam kami habiskan untuk menembus jalan-jalan kecil dari kota Bekasi, melewati kabupaten Bekasi, menyebrangi sungai Citarum, hingga akhirnya memasuki Karawang. Selama di perjalanan, kami bergantian menyalakan ponsel untuk navigasi. Sinyal internet telah beberapa kali hilang, masing-masing selama lima belas hingga tiga puluh menit. 

Kami menepikan mobil di pinggir jalan raya, sekitar enam kilometer dari rumah nenek Arfan dan saudara-saudarinya. Melihat dari posisi yang mereka tunjukkan di peta, letak rumah itu kurang dari dua kilometer di barat daya RSUD Karawang. Aldi bilang, di sebelah timur kami sekarang adalah pemakaman mewah yang terkenal, Sandiego Hills. Jalanan di sekitar tak sekacau di Jakarta dan Bekasi, mungkin karena ini adalah daerah industri yang tak banyak dipenuhi pemukiman. Beberapa kali kami dilewati mobil, truk, serta iring-iringan motor yang menjauh dari daerah perkotaan Karawang. Beruntung, kami belum berjumpa dengan orang yang mencoba membunuh kami, maupun mayat lapar. Sepertinya keberuntungan ini juga dipengaruhi oleh senapan serbu dan shotgun yang melekat pada kami, orang-orang yang lewat hanya memandangi kami.

Deru letusan tembakan, serta kepulan asap pekat dari arah perkotaan Karawang telah memenuhi cakrawala sejak kami tiba di Karawang. Daerah perkotaan itu nampaknya dilahap kobaran api di segala titik, mengubah langit gelap di atasnya menjadi oranye, dan mengalahkan intensitas polusi cahaya dari lampu perkotaan.

"Tolong ambilin derigen yang satu lagi dong," ujar Baron.
Dia sedang mengisi bahan bakar mobil kami ditemani Ibu dan Ayah, yang berbincang tepat di sebelah pintu belakang.

"Ini terakhir? Apa bakal cukup?"–Aku mengoper derigen ke Baron–"Ke sini aja udah belasan jam, sampe habis gini," cercaku. 

"Gampang lah nanti cari pombensin yang rada aman,"–Baron menuangkan bensin ke dalam tangki mobil–"Ini bisa lima belas jam juga kan karena internet susah, nyasar berapa kali, jalanannya juga gak banget dah. Parah," balas Baron.

"Ck. Nanti ke Sukabumi gini juga gak ya?" tanyaku.

"Nanti mah kita ikutin mobil-mobil yang lewat aja kali ya?" saran Baron.

Ding-Dong-Ding-Dong!
Bunyi notifikasi ponsel dari tengah mobil.

"Ya Allah!"
Ujar Fitri dengan nada yang mengkhawatirkan.
"14 missed call!" desah Fitri.

"Hah? Mamah lo Fit?"
Tanya Aldi yang langsung dibalas dengan anggukan kepala Fitri.

"Kok gak chat di grup sih? Ke gue juga gak ada telepon," sambung Dinda.

"Ini, ada... Voicemail..." kata Fitri.
Wajahnya memucat, ia melepaskan kerudungnya.

"Di grup?"
Tanya Dinda, ia melihat ke layar ponsel Fitri.
"Ga masuk di gue, ya ampun, sinyalnya."

Fitri menggerakan jempolnya, membuka voicemail itu. Aku menyaksikan dari belakang, Sely sedang menggenggam pundak Fitri dan Dinda.

"Fitri... Kamu gapapa nak?"
Suara seorang pria muncul dari speaker ponselnya.

"Fit... Sayang... Ini papah... Dengerin Nak... Jangan ke Karawang. Nenek udah gak ada, rumahnya habis kebakar. Fit, ma- maaf... Maafin papah. Gak... Gak cukup hebat kaya yang dibayangin kamu. I-... Ibu... Ibu kamu meninggal Nak. Maaf."
Ayah Fitri berbicara terbata-bata, lalu mulai merengek. Suara tembakan disertai dengan gemuruh antara manusia, dan mayat hidup mewarnai pesan suara itu.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now