Penyintas

104 17 2
                                    

Sely

"Aaaaagh!"

"Sakiiit! Tolooong!" Suara Wisnu menjerit kesakitan.

Aku tak bisa melihat tubuhnya, pandanganku dipenuhi dengan puluhan recs di segala arah. Aku sendirian, tubuhku kuyup terguyur hujan yang tak henti, gulita malam sesekali menyala oleh sambaran petir di sekelilingku. Beberapa recs mulai berjalan perlahan menghampiriku, dengan tubuh mereka yang layu dan membungkuk.

Tanganku telah siap menikam wajah mereka, tapi...
Para recs tetiba berhenti memaku. Tubuh mereka yang bungkuk, perlahan... Bergerak naik, hingga tegap lurus. Aku bisa merasakan mereka menatap lurus padaku.

"Cetar!"
Sambaran petir mengiluminasi wajah-wajah para recs. Mata mereka terbuka lebar, menatap tajam padaku seorang. Rahang mereka bergerak turun, mulut mereka kini terbuka, dan...

"YOU ARE WHERE YOU DO NOT BELONG!" (Kau tak semestinya berada di sini!)
Ucap mayat-mayat itu padaku, dengan suara yang meraung.
Aku bisa merasakan bulu-bulu dipunggung hingga ubun-ubunku menegang, dadaku berdebar tak teratur, jemariku diselimuti keringat dingin.

"Tuk."
Sebuah sentuhan tangan mendarat di atas kepalaku, aku ingin menjerit.

***

"Huaah!"
Jeritku yang reflek menarik pisau dari sarungnya di pinggangku.

Pandanganku memulih dengan cepat dari kehitaman. Aku kini melihat... Ibu. Ia terbaring di kasur, perban yang telah memerah kecoklatan membalut tangan kirinya. Ia menatapku dengan ekspresi yang nyaris kosong.

"I-Ibu?" tanyaku.

"I... Ya... Ini beneran Ibu kok, bukan recs." Ucapnya, berusaha menenangkan aku yang baru tertarik keluar dari satu lagi mimpi buruk.

"Heh... Heheh? Ibu!" Sahutku dengan lega, sambil menjatuhkan pisauku ke lantai lalu menghampirinya.

"Duh! Awas, pelan-pelan Sel...." Bisik Ibu, setelah aku buru-buru memeluknya.

"Maaf... Maafin Sely Bu... Gara-gara Sely gak–"

"Sshush! Liat Ibu,"–Ibu menggenggam kepalaku dari belakang–"Hidup kan?" ujarnya.

Wajahnya tak tampak pucat, meski keringat membasahi wajah dan sekujur tubuhnya yang semalaman kami selimuti kain tebal.

"Ta-tapi... Ibu inget kan, kejadian..."

"Sel... Ibu inget tangan Ibu ada di tanah kok. Sesakit apa itu Ibu inget. Gak lagi halu kok ini... Ibu bangun-bangun gak merasa sakit yang demam berat, panas, apalah itu kaya gejala infeksi Wire... Enggak. Ibu nih udah bangun lima belas menit sebelum kamu loh."

"Kok gak bangunin aku Bu?"

"Enggak ah, kasian kamu kecapean gitu sampe ileran tuh. Lagian, butuh nafas dulu Ibu tuh..."

"Mel? Ya ampun!" Panggil Ayah yang baru memasuki ruangan, dan langsung memeluk Ibu juga.
"Jangan lagi Mel... Jangan lagi. Aku gak tau bisa jalan tanpa kamu atau enggak..." ujarnya.

"Aku di sini kok, Rom... Masih di sini." Balas Ibu terharu, telapak tangan satu-satunya dia membelai punggung Ayah.

Aku berdiri untuk memanggil Ari dan yang lain. Rupanya, mereka telah menghampiri lebih dahulu. Ari berdiam diri, menontoni haru Ibu dan Ayah tanpa menghampiri mereka.

"You saved her...." (Kamu menyelamatkannya) Kataku pada Ari.
Ia tak membalas, benar-benar memaku sambil menyandarkan tubuhnya ke tembok di samping pintu.

Era Yang MatiWhere stories live. Discover now