Malaikat Maut Pt.1

51 11 0
                                    

Reka,
5 Hari Kemudian.

(Suara angin menghembus kencang)

"Beautiful isn't it?" (Indah bukan?) celoteh Baron.

"What is?" (Apanya?) jawabku.

"Awan gelap, angin kenceng, sama tetesan air hujan yang kalau jatuh kena muka jadi lumayan nyentil." Balas Baron, sembari memandang ke langit.

Kami sedang duduk di atap rumah pagi ini, menikmati kopi hangat di bawah rintik-rintik air yang turun dari langit. Duduk di antara tanaman hias yang mengelilingi atap rumah, serta hujan badai yang akan datang memberikan semacam kesegaran bagiku... Pagi yang biasanya gerah dan lembab, menjadi sejuk dan sedikit menenangkan. Dalam beberapa menit, pergelangan tangan dan bajuku mulai terasa basah. Angin yang kian mengencang pun membuat rambut panjangku berterbangan tak karuan.

"How the earth doesn't care at all about what happened to us... Nature keeps on going, and it's beautiful if you think about it," (Bagaimana bumi tak peduli dengan apa yang terjadi pada kita... Alam tetap bekerja sebagaimana mestinya, dan kalau dipikir-pikir rasanya itu indah,) imbuh Baron.

Aku cekikikan mendengar omongan Baron.
"The world went to shit and you suddenly became a naturalist?" (Dunia jadi hancur dan lo tiba-tiba jadi seorang naturalis?) ejekku.

"Eh, setelah apa yang kita lalui tiga minggu terakhir... Hujan buat pertama kalinya itu kaya refreshment buat kita, makanya kalau dipikir-pikir pasti bikin kesan menenangkan gitu. Emang lo gak merasa apa?" Balas Baron sambil menepuk pundakku.

"Iya, iya setuju deh bagian menenangkannya." Ucapku sambil cekikikan
"Tapi yang gak gue suka dari badai di era yang mati begini... Apa air hujannya bakal mengalir? Sistem drainase di Indonesia kan jelek, bahkan saat masih dirawat manusianya. Gimana kalau enggak? Gue khawatir kalau jalanan jadi banjir, susah diakses."

"Dan kita jadi susah cari supply makanan atau bensin..." potong Baron.
"Crap, baru kepikiran juga gue. Mari berharap aja drainase kota ini gak jelek-jelek banget, dan hujannya gak terlalu deras," imbuhnya.

"Wow!"
Jerit kami, saat kilatan petir menyambar tanah dari kejauhan.

(Suara gelegar guntur yang menyusul)

"Sial, ayo turun... Pestanya selesai." Ajakku, melihat petir pertama mulai menyambar.

"Gak perlu ngajak juga gue cabut." Balas Baron, sembari bangun dari kursi.

*****

Ari

Aku sedang berjalan naik menuju atap, membawa secangkir teh hangat dengan gula yang kami temukan di dapur rumah. Jam tanganku menunjukan pukul 08:00, aku hendak bergabung dengan Reka dan Baron yang selalu mengunjungi atap rumah tiap pagi.

"Hey, pagi." Sapa Reka, sambil menuruni tangga melingkar yang menghubungkan lantai kedua dan atap.

"Pa- gi... Kenapa pada turun dah? Baru aja mau gabung gue," ujarku.

"Mau hujan badai kayanya. Barusan udah ada petir yang lumayan deket dari sini, padahal kalau lihat awan gelapnya kayak masih jauh," terang Reka.

"Berarti itu petir positive cloud-to-ground, bisa samber tanah 40 kilometer lebih jauh dari awannya," jelas Baron.

"Dih, kok lo tau aja sih?" tanyaku.

"Dia kan tau segalanya, emang dasar nerd aja hehe." Ejek Reka sambil cengar-cengir.

"Survei membuktikan seorang nerd yang tau segalanya punya kesempatan selamat lebih besar tigapuluh persen dari rata-rata penyintas," ejek Baron.

Era Yang MatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang